I’tikaf adalah aktifitas berdiam diri di masjid dalam satu tempo tertentu dengan melakukan amalan-amalan tertentu untuk mengharapkan ridha Allah. Untuk sahnya i’tikaf diperlukan beberapa syarat, yaitu; 1) beragama Islam; 2) sudah baligh, baik laki-laki maupun perempuan; 3) Dilaksanakan di masjid, baik masjid jami’ maupun masjid biasa; 4) niat hendak melakukan i’tikaf; 5) tidak disyaratkan bagi orang yang puasa saja.
Dalil disyariatkannya I’tikaf terdapat dalam QS. Al Baqarah ayat 187: “…maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hinggga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka jangan kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa.” [QS. al-Baqarah (2):187].
Selain itu, dalam hadis dikatakan “Bahwa Nabi saw melakukan i’tikaf pada hari kesepuluh terakhir dari bulan Ramadhan, (beliau melakukannya) sejak datang di Madinah sampai beliau wafat, kemudian istri-istri beliau melakukan i’tikaf setelah beliau wafat.” [HR. Muslim].
Para ulama sepakat agar tidak keluar masjid saat melaksanakan i’tikaf. Boleh keluar masjid dengan beberapa alasan seperti yaitu; 1) karena ’udzrin syar’iyyin (alasan syar’i), seperti melaksanakan salat Jum’at; 2) karena hajah thabi’iyyah (keperluan hajat manusia) baik yang bersifat naluri maupun yang bukan naluri, seperti buang air besar, kecil, mandi janabah dan lainnya; 3) karena sesuatu yang sangat darurat, seperti ketika bangunan masjid runtuh dan lainnya.
Sementara itu, ada beberapa amalan (ibadah) yang dapat dilaksanakan oleh orang yang melaksanakan i’tikaf, yaitu; 1) melaksanakan salat sunat, seperti salat tahiyatul masjid, salat lail dan lain-lain; 3) membaca al-Quran dan tadarus al-Quran; 3) berdzikir dan berdo’a; 4) membaca buku-buku agama.