Fauzan Anwar Sandiah
Kader, perkaderan, dan kaderisasi adalah istilah-istilah yang sangat akrab di Muhammadiyah. Ketiga istilah ini menjadi bagian penting di Muhammadiyah ketika membicarakan tentang keberlanjutan, penyelarasan, pemantaban, dan peneguhan misi ideologis Persyarikatan sebagai gerakan dakwah.
Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan “kader”, “perkaderan”, dan “kaderisasi” di Muhammadiyah? Sejak lama istilah-istilah ini sudah digunakan di Persyarikatan.
Namun ternyata, seluk beluk penggunaan tiga istilah ini sendiri belum banyak dicermati secara khusus. Padahal, dari waktu ke waktu, ketiga istilah ini mencerminkan konteks-konteks tantangan yang dihadapi Muhammadiyah, dan menjadi jawaban mengapa Persyarikatan ini bisa bertahan melalui usia satu abadnya.
Istilah Kader dari Masa ke Masa
Istilah, idiom, dan konsep tentang kader sudah merupakan bagian dari perjalanan perkembangan Muhammadiyah. Pada masa-masa awal, istilah kader menjadi kosakata umum yang digunakan, dan biasanya untuk menyebut “anggota muda”. Mereka biasanya merupakan orang-orang yang dengan sengaja dididik di Muhammadiyah dengan harapan suatu saat akan melanjutkan keberlangsungan kiprah gerakan dakwah Persyarikatan.
Orang-orang yang disebut “kader” ada yang merupakan murid yang berguru pada pimpinan Muhammadiyah secara langsung, misalnya mengikuti pengajian-pengajian dan kegiatan-kegiatan KH. Ahmad Dahlan. Ada pula yang merupakan lulusan sekolah Muhammadiyah yang kemudian dengan khusus menerima tugas mengembangkan AUM.
Dalam waktu yang cukup panjang, kehadiran seorang “kader” dimungkinkan oleh proses yang berlangsung alamiah di Persyarikatan. Maka, para kader ini mendapatkan bekal pengetahuan ideologi Muhammadiyah melalui keterlibatan aktifnya dalam berbagai kegiatan Persyarikatan. Karena pada waktu itu jumlah anggota Muhammadiyah dalam tahap berkembang, sebagian besar pimpinan di Persyarikatan mencurahkan waktu untuk memastikan dirinya telah mempersiapkan calon penerus dan pelaksana kiprah dakwah. Inilah kemudian muncul frasa kader Muhammadiyah sebagai “anak panah” yang diharapkan melesat dan cepat untuk menjawab tantangan zaman yang terbentang.
Istilah kader kemudian menjadi semakin kompleks dan terkategorisasi. Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa pada awalnya istilah kader digunakan secara longgar untuk merujuk pada “anggota muda” atau para murid/santri pimpinan atau Kyai di Muhammadiyah. Maka dengan semakin meluasnya strategi dan gerakan dakwah di Persyarikatan, istilah kader pun ikut mengalami dinamika.
Misalnya dalam keputusan Muktamar ke-32 tahun 1953, muncul istilah “kader tingkat atas” dan “kader tingkat menengah”. Kemudian, dalam Keputusan Muktamar ke-35 tahun 1962, istilah kader dibagi menjadi dua, yakni “kader yang bergerak di segala lapangan terkait dengan keagamaan dan umum” dan “kader khusus” yang merujuk pada kader yang tergabung dalam Hizbul Wathan, Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul; ‘Aisyiyah, “lapangan da’wah”, “lapangan ekonomi”, “lapangan sosial”.
Muktamar ke-45 tahun 2005 menghasilkan rumusan Kompetensi Kader meliputi: (1) kompetensi akademis dan intelektual; (2) kompetensi keberagaman; (3) kompetensi keberagaman; dan (4) kompetensi sosial-kemanusiaan. Empat kompetensi ini diulas dalam bunga rampai materi kultum berjudul Siapakah Kader Muhammadiyah itu? (2017).
Perkaderan
Pembinaan kader sudah berlangsung sejak masa awal pendirian Muhammadiyah. Cara KH. Ahmad Dahlan mendidik dan memberi kesempatan kepada para santrinya untuk mengembangkan dan memimpin Muhammadiyah adalah wujud kaderisasi paling awal yang dikenal. Dalam proses berikutnya, kaderisasi juga berlangsung secara institusional, misalnya melalui apa yang disebut sebagai “sekolah kader”.
Lembaga-lembaga pendidikan seperti Madrasah Muallimin dan Muallimat yang embrionya bernama Qismul Arqa didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1918 adalah contoh pertama “sekolah kader”. Dalam perkembangan lebih lanjut, selain Madrasah Muallimin dan Muallimat hadir pula Pondok Hj. Nuriyah Shobron, PUTM (Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah), Pondok Pesantren Darul Arqom Muhammadiyah dan beberapa sekolah-sekolah lain sebagai “sekolah kader”. Maka, kaderisasi sebetulnya sudah menjadi watak pembinaan di Muhammadiyah.
Istilah perkaderan mengacu pada sistem, cara, atau wadah, atau tempat berlangsungnya pembinaan kader. Perkaderan dengan demikian merupakan upaya untuk merumuskan dan mengimplementasikan strategi, langkah, dan bentuk yang dimaksudkan untuk membina kader.
Substansi perkaderan terlihat dengan jelas dalam Keputusan Muktamar ke-33 tahun 1956. Keputusan itu terkait dengan lima hal yang dapat ditempuh untuk meningkatkan mutu anggota dan kader Muhammadiyah:
1. Menetapkan minimum pengertian dan amalan agama yang perlu dimiliki oleh tiap-tiap anggota Muhammadiyah.
2. Memberi penghargaan kepada setiap keluarga Muhammadiyah dan anak Muhammadiyah pun ummat Islam pada umumnya yang berjasa; yang tua dihormati, yang muda disayangi.
3. Menuntun anggota menurut bakat dan kecakapannya (tani, buruh, pedagang, pegawai, cerdik-pandai dan lain-lain) sesuai dengan ajaran Islam.
4. Menempatkan pecinta dan pendukung Muhammadiyah berjenjang naik; simpatisan, calon anggota, anggota biasa, anggota teras.
5. Menempatkan kursus kemasyarakatan di daerah.
Misalnya, dalam Keputusan Muktamar ke-41 tahun 1985, disebutkan bahwa pondok pesantren merupakan “wadah perkaderan anak-anak Muhammadiyah.” Meski istilah perkaderan baru lazim muncul dalam dokumen resmi Persyarikatan pada tahun 1985.