PEKALONGAN— Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syamsul Anwar menyayangkan hampir sebagian besar ilmuwan di dunia Barat cenderung tidak percaya kepada Tuhan. Pernyataan ini disampaikan dalam Seminar Nasional Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih ke-32 di Pekalongan pada Sabtu (24/02).
Mengutip Prancis S. Collins, Syamsul menyebutkan bahwa pada tahun 1916 para peneliti melakukan survey terhadap para ahli biologi, fisika, dan matematika tentang apakah mereka percaya kepada adanya Tuhan yang berkomunikasi kepada manusia dan yang kepada-Nya dipanjatkan doa yang diharapkan makbul. Hasilnya menunjukkan bahwa hanya 40 % responden yang menjawab afirmatif (percaya adanya Tuhan). Survey yang sama diulangi lagi pada tahun 1997 dan ternyata tidak ada perubahan sikap para ilmuwan tentang hal ini dan hasil surveinya kurang lebih sama.
Dalam sejarah Islam gesekan ilmu dan iman, meskipun tidak sampai mengorbankan jiwa para ilmuwan, tetap ada dalam bentuk lebih lunak. Ini dapat dicontohkan dengan kasus kitab Tahāfut al-Falāsifah (‘kekacauan para filosof’) yang ditulis oleh al-Ghazali (w. 505/1111). Dalam karya ini ia menyatakan bahwa para filosof Muslim yang mewakili ilmuwan (pada zaman itu filsafat belum dipisahkan dari sains) adalah kafir karena pandangan mereka: (1) alam adalah kadim (tidak berpermulaan), (2) Allah hanya mengetahui hal-hal global dan tidak mengetahui hal detail, dan (3) para filosof mengingkari kebangkitan jasmani di akhirat.
Tuduhan berat al-Ghazali bahwa para filosof (ilmuwan) kafir karena tiga pandangan di atas dijawab oleh Ibn Rusyd (w. 595/1198) dengan menulis Tahāfut at-Tahāfut (‘kekacauan kitab Tahāfut al-Falāsifah). Bahkan Ibn Rusyd juga menulis buku lain berjudul Faṣl al-Maqāl wa Taqrīr Mā Baina al-asy-Syarī‘ah wa al-Ḥikmah min al-Ittiṣāl (‘uraian tentang hubungan antara agama dan filsafat’) dalam mana ia menjelaskan interelasi dan keterkaitan filsafat (baca: sains) dengan agama (iman).
Inti pandangan Ibn Rusyd adalah bahwa tidak ada pertentangan antara agama dan filsafat (ilmu) karena yang terakhir ini merupakan penyelidikan tentang alam secara rasional yang dapat meningkatkan makrifat tentang Sang Pencipta. Sebaliknya agama memerintahkan melakukan penyelidikan tentang alam (ayat-ayat kauniah) dengan menggunakan metode rasional (burhani).
Perlu dicatat bahwa Ibn Rusyd beruntung karena ia dalam dirinya memadukan keulamaan dan keilmuwanan. Ia tidak hanya seorang saintis, tetapi dalam waktu yang sama juga adalah fakih yang menulis kitab fikih terkenal Bidāyat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtaṣid, dan kitab usul fikih dengan judul aḍ-Ḍarūrī fī Uṣul al-Fiqh.
Perdebatan antara al-Ghazali dan para filosof seperti disitir di atas dalam mana al-Ghazali menghakimi mereka sebagai kafir menunjukkan adanya pergesekan antara agama dan ilmu pada dataran realitas dalam sejarah Islam. Menurut Syamsul, kenyataan ini menjadi alasan diperlukannya suatu filosofi pengembangan keilmuan yang menjaga kompatibilitas antara prinsip-prinsip keimanan dan ilmu, yakni suatu filsafat ilmu yang berbasis pada integrasi Al Islam dan Kemuhammadiyahan dan Ilmu Pengetahuan Teknologi.