DEMAKMU.COM | JAKARTA – Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu’ti meminta Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) untuk mengejar prestasi dari Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) yang institusi terakreditasi unggul.
Guru Besar Bidang Pendidikan Islam ini menuturkan, saat ini UMJ memang sudah unggul secara ‘hisab’, akan tetapi secara ‘rukyat’ masih belum. Hal itu dilihat setelah melakukan self evaluation, meski demikian Mu’ti menyampaikan UMJ masih memerlukan peningkatan di beberapa sisi.
“Dan mudah-mudahan nanti sebelum tahun 2025 UMJ ini sudah menjadi universitas Muhammadiyah yang terakreditasi institusi unggul,” tutur Mu’ti pada (22/8) dalam agenda Orasi Ilmiah dan Pengukuhan Guru Besar UMJ.
Harapan tersebut tidak berlebihan, sebab UMJ merupakan universitas Muhammadiyah tertua yang berdiri pada 1955 yang dimiliki oleh Persyarikatan Muhammadiyah. Selain itu, UMJ juga terkenal sebagai universitas yang selektif dalam memberikan gelar penghormatan, yaitu kepada Ir. Sukarno dan Adi Hidayat.
Dalam agenda ini UMJ mengukuhkan dua guru besar yaitu Prof. Andriyani yang menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Tasawuf, Kesehatan Spiritual, dan Pendidikan Agama: Refleksi Terhadap Pengalaman Diskursus Tasawuf dan Fiqih dalam Penggalan Sejarah Umat Islam Indonesia”.
Sementara yang kedua adalah Prof. Gofur Ahmad menyampaikan orasi ilmiah “Human Intelligence Management: Human Challenge“. Terkait dengan orasi kedua ini, Abdul Mu’ti menyetujui tawaran yang disampaikan oleh Prof. Gafur tentang one big data Muhammadiyah.
“Ini saya kira satu hal yang kami sangat menunggu, karena selama ini saya sebagai Sekum Muhammadiyah kalau ditanya berapa jumlah anggota Muhammadiyah, saya kemudian harus bercanda saya tanya NU dulu,” seloroh Mu’ti.
Selain itu, menurutnya urgensi big data bagi Muhammadiyah karena banyak Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang tersebar di seluruh Indonesia, bahkan di luar negeri. Sekaligus juga setiap AUM tersebut ada aktivisnya, yang semuanya itu harusnya didata.
Mengutip Yuval Noah Harari, Abdul Mu’ti menyebut bahwa di masa depan yang begitu sarat dengan kemajuan teknologi digital dan AI, meniscayakan kekuatan data. Di sisi lain, penjajahan di masa depan bukan lagi kolonialisme politik, melainkan big data dictatorship.