Kementerian Agama RI secara resmi menggunakan kriteria imkan rukyat yang baru (3, 6.4) dalam menentukan awal Ramadan 1443 H. Artinya, kriteria dari MABIMS ini juga akan digunakan dalam menentukan awal Syawal 1443 H. Menanggapi hal tersebut, Pakar Falak Muhammadiyah Susiknan Azhari mengatakan bahwa kriteria baru ini akan menimbulkan sejumlah persoalan, salah satunya memperpanjang daftar perbedaan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah di Indonesia.
“Terkesan prosesnya kurang transparan dan dipaksakan tanpa memperhatikan masukan-masukan yang berkembang dalam musyawarah. Para pengkaji menganggap kehadiran kriteria baru akan memperpanjang daftar perbedaan dalam awal bulan,” terang Susiknan sebagaimana yang diterima tim redaksi Muhammadiyah.or.id pada Jumat (29/04).
Susiknan mengutip hasil penelitian dari Muslih Husein yang menunjukkan jika menggunakan kriteria baru dari MABIMS ini, maka sejak tahun 1443/2022 sampai 1485/2065 akan terjadi 31 kali perbedaan, dengan rincian: 6 kali di awal Ramadan, 11 kali di awal Syawal, dan 14 kali di awal Zulhijah. Realitas ini semakin memprihatinkan sebab upaya penyatuan kalender Islam akan semakin berliku dan semakin sulit direalisasikan.
Selain itu, keterbatasan waktu sosialisasi kriteria baru dari MABIMS ini menimbulkan sejumlah persoalan. Banyak hal yang belum dirumuskan dan disepakati bersama sehingga yang muncul pandangan pribadi, misalnya, markaz yang digunakan dalam perhitungan, model yang digunakan geosentrik atau toposentrik, dan penggunaan Fatwa MUI tentang Idul Fitri 1401 H/1951 M.
Dalam kalender yang beredar di lingkungan anggota MABIMS seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam, awal Syawal 1443 H jatuh pada hari Selasa, 3 Mei 2022. Sementara di Indonesia, semua kalender seperti kalender Muhammadiyah, Almanak PB NU, Almanak Islam Persis, dan Taqwim Standar Indonesia menetapkan awal Syawal 1443 H jatuh pada Senin, 2 Mei 2022.
“Berdasarkan hal tersebut dan hasil Temu Kerja di Yogyakarta 1441/2020 secara teoritis lebaran dilaksanakan secara serentak (Senin, 2 Mei 2022). Namun dengan adanya kriteria baru harus dikaji ulang posisi ketinggian hilal dan elongasi serta hasil rukyat di lapangan,” ucap Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini.
Sebagian besar ahli berpendapat bahwa ijtimak (konjungsi) terjiad pada Ahad, 1 Mei 2022 pukul 03:31:02 WIB. Ketinggian hilal dan elongasi di seluruh wilayah Indonesia membelah menjadi dua. Sebagian sudah memenuhi kriteria baru (3, 6.4), sebagian lagi belum terpenuhi. Namun jika berpedoman pada wilayatul hukmi, secara teoritis awal Syawal 1443 H harusnya jatuh pada Senin, 2 Mei 2022 M.
Sementara itu, pandangan minoritas menyatakan bahwa ketinggian hilal hari Ahad, 1 Mei 2022 sudah memenuhi kriteria sedangkan elongasi belum memenuhi. Sehingga awal Syawal 1443 H untuk sebagian kecil wilayah jatuh pada Selasa, 3 Mei 2022 M.
“Perbedaan kesimpulan tentang posisi hilal tersebut dikarenakan perbedaan acuan dalam proses perhitungan. Salah satu pihak menggunakan geosentrik dan pihak lainnya menggunakan toposentrik,” terang Susiknan.
Lalu bagaimana dengan rukyat? Menurut pengalaman sejauh ini, jika hasil hisab memenuhi kriteria yang dipedomani, maka ada laporan keberhasilan melihat hilal. Sebaliknya jika hasil hisab menunjukkan belum memenuhi kriteria, maka tidak akan ada laporan keberhasilan melihat hilal alias bulan yang sedang berjalan akan digenapkan menjadi 30 hari.
Susiknan menegaskan jika Menteri Agama RI mempertimbangkan kemaslahatan dalam negeri maka lebaran akan dilaksanakan secara serempak yaitu pada hari Senin, 2 Mei 2022.
Hal ini tidak menyalahi kesepakatan MABIMS akrena belum adanya garis panduan yang disepakati bersama. Namun jika Menteri Agama RI lebih mengutamakan kemaslahatan MABIMS maka perbedaan awal Syawal 1443 H dalam negeri tidak dapat dihindari. Karena Idul Fitri akan dilaksanakan pada Selasa, 3 Mei 2022.