YOGYAKARTA — Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Semarang, Kasmui, mengingatkan umat Islam agar tidak silau terhadap kemajuan Akal Imitasi (AI) tanpa memahami potensi bahayanya.
Dalam Pengajian Tarjih yang digelar pada Rabu (22/10), dosen IT sekaligus praktisi AI ini menegaskan bahwa AI bukan hanya membawa kemanfaatan besar, tetapi juga mengandung sisi buruk yang sangat berbahaya bagi moral, privasi, dan keamanan informasi manusia
“AI ini seperti mata pisau, bisa memudahkan kita memotong daging atau buah, tapi juga bisa memotong leher, tangan, atau kaki dengan mudah,” ungkapnya, menggambarkan bagaimana AI dapat menjadi alat yang sangat bermanfaat, namun juga berbahaya jika tidak dikendalikan.
Menurut Kasmui, AI memiliki kemampuan luar biasa, seperti menghasilkan konten realistis yang dikenal sebagai deepfake. Ia mencontohkan bagaimana teknologi ini mampu memalsukan wajah tokoh dunia, seperti presiden Korea Utara, Rusia, atau Amerika, dengan suara yang berbicara dalam bahasa Indonesia secara meyakinkan.
“Masya Allah, ini luar biasa, tapi juga sangat berbahaya karena bisa menipu dan menimbulkan disinformasi,” tegasnya.
Fikih Informasi sebagai Panduan
Sebagai respons terhadap potensi bahaya AI, Kasmui menekankan pentingnya fikih informasi sebagai pedoman moral dalam penggunaan teknologi. Ia menyebutkan bahwa Muhammadiyah, melalui Majelis Pustaka dan Informasi, memiliki peran strategis dalam menerapkan prinsip amar makruf nahi mungkar untuk menghadapi tantangan digital.
Fikih informasi, menurutnya, berakar pada nilai-nilai Al-Qur’an, seperti perintah tabayyun (klarifikasi) dalam surah Al-Hujurat ayat 6, yang mengajarkan umat Islam untuk memverifikasi kebenaran informasi sebelum mempercayainya.
“Fikih informasi adalah kompas kita untuk berjalan dengan benar, menjaga keseimbangan antara keterbukaan dan privasi, serta mencegah pelanggaran seperti tajasus (mencari-cari kesalahan orang lain) dan ghibah (menggunjing),” jelas Kasmui.
Ia juga mengingatkan bahwa AI dapat digunakan untuk mendukung pendidikan dan dakwah, seperti mengintegrasikan buku digital dengan AI agar dapat “berbicara” dan menjawab pertanyaan, sehingga mempermudah pembelajaran.
Kasmui juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap pelanggaran privasi yang marak terjadi di Indonesia, seperti kebocoran data pribadi, doxing, dan deepfake yang menimpa tokoh masyarakat, termasuk kasus viral di Semarang baru-baru ini yang melibatkan alumni sebuah sekolah negeri.
Ia menyinggung pula kasus kebocoran data besar seperti di Bank Syariah Indonesia (BSI) pada Mei 2023, serta peretasan data KPU yang menunjukkan lemahnya perlindungan data di Indonesia.
“Pelanggaran privasi ini bukan hanya soal data, tapi juga kehormatan. Istri, anak, dan keluarga kita bisa jadi korban. Nauzubillah min dzalik,” ujarnya dengan nada prihatin.
Ia juga memperingatkan tentang bahaya pengawasan massal (surveillance capitalism) oleh platform seperti Facebook, Google, dan TikTok, yang merekam perilaku pengguna hingga lokasi secara real-time tanpa sepengetahuan mereka.
Pemanfaatan AI untuk Kebaikan
Meski penuh risiko, Kasmui mendorong umat Islam, khususnya warga Muhammadiyah, untuk tidak alergi terhadap AI. Ia mencontohkan bagaimana dirinya mengintegrasikan AI, seperti Gemini, dalam pengajaran dan pengembangan website untuk mempermudah akses informasi.
“Saya sudah tinggalkan PowerPoint, sekarang pakai website yang terhubung dengan AI, sehingga jemaah bisa mengakses, mencermati, bahkan mengkritisi materi secara langsung,” ungkapnya.
Kasmui juga berbagi pengalaman membuat aplikasi berbasis AI yang dapat memantau aktivitas pengguna, namun ia memilih untuk tidak menyalahgunakannya karena kesadaran agamanya.
“Saya bisa membuat aplikasi yang mengaktifkan kamera HP orang lain tanpa sepengetahuannya, tapi saya berhenti karena takut dosa,” katanya, seraya mengingatkan bahwa teknologi harus digunakan dengan tanggung jawab moral.
Menutup pemaparannya, Kasmui menegaskan bahwa Muhammadiyah memiliki tanggung jawab besar untuk mengendalikan dampak AI melalui pendekatan fikih informasi. Ia mengajak jemaah untuk memahami regulasi yang ada, seperti Undang-Undang ITE dan Perlindungan Data Pribadi (PDP), serta fatwa MUI tentang muamalah di media sosial.
Namun, ia menyayangkan bahwa penegakan hukum sering kali “tajam ke bawah, tumpul ke atas,” sehingga diperlukan advokasi yang kuat dari level individu hingga pemerintah.
“Muhammadiyah harus menjadi pelopor dalam amar makruf nahi mungkar di era digital ini. Mimbar dakwah kita bukan lagi hanya di masjid, tapi juga di laboratorium super komputer,” pungkas Kasmui, menggarisbawahi pentingnya literasi digital dan kesadaran syariat dalam menghadapi tantangan AI.
Kasmui menambahkan bahwa Majelis Tabligh dan Majelis Tarjih memiliki peran saling melengkapi: yang satu memperkuat syariatnya, yang lain menyebarkan nilai-nilainya ke masyarakat. AI memang alat yang canggih, tapi tanpa fikih, alat ini bisa jadi fitnah.



















