Seorang teman mengatakan bahwa dirinya telah berhijrah. Ia pun terlihat meningkatkan amalan ibadahnya. Hati saya bersorak bahagia melihat semua itu. Hari demi hari ia terlihat asyik dalam beragama. Hijrahnya kemudian ia buktikan dengan berbusana yang lebih longgar dengan pilihan warna yang gelap, meninggalkan riasan wajah, serta tidak mengenakan perhiasan sedikit pun.
Lambat-laun saya amati ia mulai mempersempit pemaknaan hijrah itu. Dalam percakapan ia selalu memilih kata dalam bahasa Arab, menjauhi yang bersifat budaya lokal, hanya menggunakan benda-benda yang berlabel halal sekalipun itu alat rumah tangga, meninggalkan transaksi keuangan digital, mulai menarik diri dari kiprah sosial di ranah publik, dan sebagainya. Mungkin saja, ia telah masuk dalam “perangkap” simplifikasi hijrah dan komodifikasi agama.
Simplifikasi Hijrah
Simplifikasi hijrah merupakan penyederhanaan makna hijrah. Artinya, hijrah yang sebetulnya maknanya sangat luas, hanya dimaknai secara sangat sederhana atau simple. Sebenarnya, kata hijrah ini berasal dari akar kata hajara yang berarti berpindah, bisa berpindah tempat, keadaan, atau sifat.
Kata ini memiliki makna yang luas, yaitu ‘kebangkitan yang berpegang pada tuntunan Allah swt.’ Dalam al-Qur’an, kata hijrah digunakan sebanyak 31 kali, misalnya mengenai perintah meninggalkan keburukan dan kemaksiatan (al-Muddatstsir [74]: 5); perintah untuk berpaling dari orang yang tidak patuh (an-Nisâ’ [4]: 34); perintah meninggalkan orang-orang yang tidak beriman dengan cara yang baik, tanpa melukai hati mereka (alMuzammil [73]: 10); perintah untuk kembali kepada Allah dengan harapan mendapatkan hidayahNya (al-Ankabût [29]: 26); dan perintah meninggalkan tempat, keadaan, atau sifat karena menuntut ridha Allah. (an-Nisâ’ [4]:89).
Dari pemahaman terhadap landasan skriptual utama umat Islam tersebut dapat dilihat bahwa hijrah dalam Al-Qur’an sangat luas. Kata itu bermakna self improvement untuk terus menjadi manusia dengan kualitas yang meningkat. Menurut sejumlah pakar, peningkatan kualitas hidup ini dapat dicapai dengan empat hal, yaitu mempunyai niat, berpikir objektif, mempunyai perencanaan, dan sustain atau dalam istilah kita istiqamah.
Komodifikasi Agama
Komodifikasi agama adalah dijadikannya agama sebagai komoditas. Artinya, agama dijadikan sebagai faktor untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya oleh pihak-pihak tertentu, misalnya dengan adanya label halal, label hijrah, label syariah, serta istilah keagamaan lain yang ditempelkan dalam suatu produk atau jasa.
Ketika seseorang sedang belajar agama secara parsial, biasanya ia akan mudah masuk dalam memperoleh produkproduk ini dengan tujuan selamat dunia dan akhirat. Pemahaman agama yang jauh dari komprehensif bisa jadi mengabaikan esensi produk tersebut, malah justru terpikat dengan labelnya. Sementara, mereka yang mempelajari agama secara komprehensif, akan berupaya melihat pada esensinya dan tidak hanya fokus kepada dirinya, namun memberi vibrasi positif pada lingkungan sekitarnya.
Wasathiyyah
Berhijrah bukan berarti tidak boleh. Al-Qur’an sangat menganjurkan untuk berhijrah sebagaimana yang disebut di atas. Akan tetapi, pemaknaan hijrah inilah yang harus dilakukan secara luas dan komprehensif. Jika mengacu pada Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 133-134, yang kita perlukan untuk hidup lebih baik adalah membuat roadmap kehidupan. Roadmap kehidupan disebut dengan detail pada ayat tersebut agar kita melakukan monev (monitoring dan evaluasi) diri, memohon ampun, berbagi kepada sesama di waktu lapang dan sempit, mampu menahan amarah, memaafkan kesalahan orang lain, dan jika berbuat keji, segera monev diri lagi, dan memohon ampunan dari Allah swt.
Untuk berhijrah secara wasathiyyah, mari kita ikuti yang telah dirumuskan bersama, yaitu tawassuth, (mengambil jalan tengah); tawazun (keseimbangan); i’tidal (lurus dan tegas); tasamuh (toleransi); musawah (egaliter); syura (musyawarah); ishlah (reformasi); aulawiyyah (mendahulukan yang prioritas); tathawur wa ibtikar (dinamis dan inovatif); dan tahadhdhur (berkeadaban). Hijrah yang sejati adalah kebermanfaatan kita untuk sesama. Khairunnas anfa’uhum linnas. [11/23] (Adib Sofia)