DEMAKMU.COM | YOGYAKARTA — Ideologi-ideologi besar di dunia mati bergelimpangan, akan tetapi dari banyaknya ideologi tersebut yang masih hidup dan menang adalah ideologi kapitalisme dan liberalisme.
Namun demikian, menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir akan tetap ada kecenderungan terhadap sosialistik maupun kapitalistik. Dalam benturan dua ideologi itu, Islam berada di antara sosialisme dan kapitalisme.
“Islam itu eklektik atau jalan tengah, tapi tidak betul-betul lurus di tengah karena linier, jadi kanan-kiri dinamis.” Ungkapnya Haedar pada, Sabtu (13/5) dalam Dialog Ideopolitor di UNISA.
Dalam pandangan Haedar, termasuk Al Ma’un merupakan titik temu antara si kaya dan si miskin. Guru Besar Sosiologi ini menegaskan bahwa Teologi Al Ma’un tidak pro dhuafa’-Mustadh’afin dan anti aghnia.
“Tetapi merupakan titik temu menjadi wasilah antara aghnia dan dhuafa, lewat sebuah praksis gerakan.” Ungkapnya.
Terkait itu, Teologi Al Ma’un dipraktikkan oleh dr. Soetomo yang mengandung cinta kasih — welas asih. Ajaran itu melintas bagi siapapun. Memihak yang lemah namun tidak serta Kerta anti kepada yang kuat.
Sosialisme Islam, imbuh Haedar, juga pernah disinggung oleh KH. Ahmad Dahlan dalam 17 Pokok Ajaran Islam. Namun Haedar menyayangkan, karena setelah itu tidak ada yang menulis kapitalisme Islam.
“Cuman setelah itu, jarang yang menulis tentang kapitalisme Islam. Mestinya ada juga, tentang bagaimana dimensi kapitalistik Islam itu, ada mesti. Sementara di umat Islam sudah terlanjur pro dhuafa dan anti orang kaya,” imbuhnya.
Ketimpangan tersebut menjadikan Agama Islam sebagai alasan menolak kemapanan. Dan itu berpengaruh pada kehidupan politik juga, aura tersebut merambat pada anti orang sukses dan anti kekuasaan. Padahal di saat yang sama, berkeinginan memberdayakan kaum Dhuafa’— Mustadh’afin.
“Beruntungnya Muhammadiyah memiliki kemampuan mentransmisikan ajaran Islam dalam institusi sekolah, perguruan tinggi dan organisasi gerakan perempuan.” Ucapnya.
Bahkan ‘Aisyiyah sebagai gerakan perempuan Islam genuin Muhammadiyah melampaui teori-teori gender. ‘Aisyiyah sebagai karya Kiai Dahlan yang mengangkat dirinya menjadi Pahlawan Nasional, yang berhasil menyetarakan peran laki-laki dan perempuan tanpa diskriminasi.