DEMAKMU.COM | BLITAR—Nilai-nilai agama harus hadir sebagai kanopi suci dalam melakukan spiritualisasi yang mencerdaskan dan mencerahkan. Sudah sejak lama, dari Samudera Pasai hingga Ternate dan Tidore, bangsa Indonesia telah menjadikan agama sebagai petunjuk, pembimbing, spirit perjuangan melawan penjajah, dan fondasi nilai yang membawa kebahagiaan hidup umat manusia di dunia menuju kehidupan akhirat.
“Kehadiran para tokoh Islam dari Samudera Pasai hingga Ternate dan Tidore bahkan Papua, itu tidak lain karena persebaran dan cara dakwah yang mengikuti jejak Rasulullah, dakwah dengan cara damai,” ucap Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam acara Milad Muhammadiyah Ke – 113 & Semarak Muktamar Muhammadiyah di Blitar, Jawa Timur, pada Ahad (15/08).
Praktek keberagamaan yang selama ini telah diaktualisasikan merupakan fondasi penting dalam memahami bahwa Indonesia tegak dan merdeka karena perjuangan umat beragama dan mayoritas muslim. Mereka mewariskan keberagamaan yang otentik. Karenanya dalam batang tubuh pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa kemerdekaan Indonesia dipersaksikan sebagai ‘atas rahmat Allah’. Dalam sila pertama Pancasila juga jelas disebutkan Ketuhanan yang Maha Esa. Dengan adanya pengakuan-pengakuan ini, para pendiri bangsa mengakui bahwa Indonesia sebagai negara yang beriman dan bertakwa.
Atas dasar inilah Haedar tidak ingin bila agama dan umat beragama, lebih-lebih Islam dan umat Islam, dituduh sebagai sumber radikalisme, atau bahkan terorisme. Fondasi keberagamaan bangsa Indonesia jauh dari perbuatan yang nir-adab dan senantiasa menebar rahmat. Jika ada pihak-pihak yang beragama melakukan tindakan di luar batas, maka tugas semua pihak untuk meluruskan pemahaman ekstrem tersebut.
“Kalau yang radikal yang teror itu bukan hanya dari kalangan agama, dari ideologi lain juga akan selalu ada, baik di Indonesia maupun di kancah internasional. Maka dengan kearifan kita bahwa agama dan umat beragama menjadi sumber rahmat,” terang Haedar.
Selain itu, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, peran umat beragama itu begitu kuat. Saat akan menentukan dasar negara pada 18 Agustus 1945, misalnya, beberapa pihak keberatan dengan isi dari Piagam Jakarta, terutama pada sila pertama yang berbunyi ‘Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.’ Dengan kebesaran hati, umat Islam yang diwakili Ki Bagus Hadikusumo pada saat itu luluh dan menggantinya dengan ‘Ketuhanan yang Maha Esa’. Inilah kado umat Islam untuk bangsa Indonesia.
“Akhirnya umat Islam memberikan kado terbaik dengan mencoret tujuh kata itu, ikhlas. Dari sini bahwa kompromi ini benar tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah kita merajut persatuan bangsa yang mungkin saat itu pecah kalau umat Islam mau main menang-menangan,” kata Haedar.
Dalam menguatkan Pancasila, pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar, Muhammadiyah menegaskan bahwa Pancasila sebagai darul ahdi wa syahadah. Konsepsi ini sesungguhnya menegaskan komitmen keislaman dan keindonesiaan yang dipahami Muhammadiyah. Dengan adanya pemahaman Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah, Muhammadiyah telah berhasil membangun watak anak bangsa sebagai seorang muslim sekaligus sebagai penduduk tanah air.
“Jangan menjauhkan agama dan segala hal yang bersifat simbol keagamaan dari Merah Putih, dari negara Pancasila. Kalau ada tokoh bangsa atau pejabat negara yang alergi menggunakan kata iman dan takwa, itu pemahaman sejarahnya kurang baik!” tegas Haedar.