Kaderisasi sebagai proses pembinaan kader sudah berlangsung lama di Muhammadiyah. Kaderisasi sebagai “pembinaan kader” adalah satu paket dalam program pembinaan organisasi yang juga mencakup “pembinaan pimpinan”, “pembinaan anggota”, “pembinaan kerangka organisasi”, “pembinaan program/ rencana kerja”, dan “pembinaan dana perjuangan” sebagaimana tertera dalam Keputusan Muktamar ke-36 tahun 1965.
Istilah “kaderisasi” sendiri mulai digunakan secara resmi dan khusus dalam Keputusan Muktamar ke-37 tahun 1968. Dalam Lampiran 4 bertajuk Kaderisasi disebutkan bahwa “pembinaan kader” merupakan salah satu “amal persyarikatan” yang dilaksanakan dalam pendidikan formal, upgrading, training, dan pendidikan formal.
Suara Muhammadiyah (Tahun ke-III/1970) menurunkan editorial berjudul Pentingja Kaderisasi yang mengurai secara lengkap dan reflektif tentang apa itu kaderisasi:
“Adalah amat tragis bagi sesuatu Gerakan bahwa ia terpaksa harus lenjap dari “panggung” sedjarah sebelum ia sempat mewujudkan apa jang mendjadi tudjuannya. Banjaklah faktor jang menjebabkannja, tetapi jang lebih penting untuk disebutkan adalah semakin berkurang atau sinarnja para pendukung jang benar2 mewarisi aspirasi perdjuangan jang sesuai dengan idea jang menyertai kelahirannja Gerakan itu. Oleh karenanja, untuk mempertahankan eksistensi suatu Gerakan pada hakekatnja tidaklah tjukup hanja sekedar dengan djalan memelihara udjud lahirnja sadja. Tetapi jang terutama sekali adalah tetap menghidup suburkan idea Gerakan itu didalam hati sanubari setiap pendukungnja. Lebih dari itu adalah mendjaga agar idea itu tidak paham, meskipun terdjadi pergantian pendukung dari generasi ke generasi jang berikutnya. Hal ini hanja mungkin, selama para pimpinan dan aktivist Gerakan itu senantiasa menjadari akan pentingja kaderisasi jaitu pembinaan tulang-punggung2 Gerakan jang benar2 memahami idea Gerakan dan mengetrapkannja dalam kehidupannja se-hari2 serta pembibitan tunas2 baru jang disiapkan untuk menerima dan mewarisi perdjuangan pada masa2 mendatang. Muhammadijah sebagai Gerakan Islam, tidak kita relakan ia lenjap dari “panggung” sedjarah perdjuangan ini sebelum idea dan tjita2nja benar2 dapat diudjudkan. Untuk itu tidak ada alternatif lain selain kita harus melaksanakan dengan sungguh2 program kaderisasi hasil keputusan Muktamar ke 37.”
Melalui uraian di atas “kaderisasi” dimaknai sebagai “pembinaan tulang-punggung-tulang punggung gerakan” yang ditujukan untuk “mewariskan aspirasi perjuangan”. Poin menarik dari uraian di atas terkait dengan cara pandang dalam melihat kesinambungan dan keberlanjutan organisasi, bahwa tidak cukup hanya sekadar memelihara pencapaian-pencapaian fisik, melainkan juga “menghidup-suburkan ide”.
Dalam Program Pembinaan Kader ke-1 tahun 1968-1971, kaderisasi dimaknai sebagai proses untuk menempa seorang anggota atau calon anggota untuk setidaknya tiga hal; (1) pembinaan ideologi; (2) “diarahkan pada usaha untuk pola berpikir yang sama mengenai Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, Gerakan Da’wah, dan Gerakan Tajdid”; serta (3) “pemantaban di mana aspek pembinaan ideologi yang menjadi landasannya merupakan salah satu faktor yang akan menentukan berhasilnya program tersebut.”
Berikutnya dalam Keputusan Muktamar ke-38 tahun 1971, kaderisasi menjadi program yang dimaksudkan untuk “menggarap aspek personil” dan “mendukung program umum yang mempunyai motif pemantapan Muhammadiyah sebagai gerakan da’wah amar ma’ruf nahi mungkar.” Dalam putusan ini pula, kaderisasi menjadi program dan kegiatan tetap.
Kader dan Sumber Daya Insani
Kaderisasi dan perkaderan tidak hanya untuk “membina kader” tapi juga mencakup urusan “pembinaan personalia” atau sumber daya insani secara luas. Dalam Program Muhammadiyah periode 1971-1974 dinyatakan bahwa pembinaan personalia merupakan bagian dari kaderisasi. Hal ini berlandas dari keputusan Muktamar ke-37 terkait dengan program pembinaan kader.
Tujuan pembinaan personalia adalah untuk “pemantapan Muhammadiyah sebagai Gerakan Da’wah Islam amar ma’ruf nahi mungkar” dan “langkah untuk meningkatkan mutu anggota dan pimpinan, baik di bidang ideologi maupun di bidang amal dan organisasi.” Terlihat jelas bahwa tujuan-tujuan umum dalam “pembinaan personalia” sama dengan tujuan pembinaan kader yang telah diuraikan sebelumnya.
Dalam Keputusan Muktamar tahun ke-42 tahun 1990, idiom “sumber daya insani” tampaknya mulai digunakan untuk menyebut subjek yang terlibat dalam program-program pendidikan, pengembangan dan pembinaan, baik untuk tujuan menempa kader atau meningkatkan mutu personalia. Misalnya, muncul agenda untuk mendirikan Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Muhammadiyah sebagai pusat pengembangan sumber daya insani.
Idiom “sumber daya insani” dalam Keputusan Muktamar ke-43 tahun 1995 juga digunakan untuk menyebut subjek dakwah pengembangan masyarakat dan pembinaan kesejahteraan sosial ekonomi. Di sini, “sumber daya insani” dimaknai sebagai “sosok abdi dan khalifah yang menguasai iptek dan imtaq sebagai suatu kesatuan”.
Penggunaan idiom “sumber daya insani” sebagaimana Muktamar ke-43 akan dipertahankan secara konsisten di masa-masa berikutnya, dana akan terkait dengan “kaderisasi”. Misalnya dalam Muktamar ke-45:
“Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan yang besar perlu melakukan intensifikasi proses kaderisasi secara terencana, terarah dan berkesinambungan baik secara internal maupun eksternal untuk menjamin kelangsungan organisasi di masa yang akan datang, serta menjamin tersedianya sumber daya insani yang profesional untuk mengisi berbagai lini kehidupan modern. Kelalaian Muhammadiyah dalam melakukan proses kaderisasi akan berakibat fatal pada proses keberlangsungan organisasi di masa depan, serta mengurangi kontribusi Muhammadiyah bagi kemajuan bangsa dan negara.”
Pada Muktamar ke-38 tahun 1971, program pembinaan kader kian mengalami pematangan. Kaderisasi berjalan seiring kebutuhan untuk melakukan pembinaan anggota dan meningkatkan mutu sumber daya insani di Muhammadiyah.