DEMAKMU.COM | YOGYAKARTA—Kemerdekaan yang diketahui oleh bangsa Indonesia pada umumnya merupakan kemerdekaan negatif, padahal ada pemahaman kemerdekaan yang lain, yang jarang sekali digunakan oleh orang Indonesia, yaitu kemerdekaan positif.
Menurut Yudi Latif dalam Pengajian Umum PP Muhammadiyah, Jumat (12/8) menjelaskan bahwa kemerdekaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu “mahardika”, ketika diserap dalam Bahasa Jawa lama, artinya adalah kaum terpelajar atau orang bijaksana.
“Jadi kemerdekaan itu kebijaksanaan dan keterpelajaran sebenarnya. Jadi di sini selama ini kita memahami kemerdekaan itu dari kemerdekaan negatif,” ungkapnya.
Kemerdekaan negatif contohnya bebas dari penjajahan, diskriminasi, dan eksploitasi. Pengetahuan umum ini bukan tanpa alasan, sebab dalam Pembukaan UUD ’45 memang dimulai dari pemaknaan kemerdekaan negatif, yang bahasa agamanya itu nahi munkar.
“Tapi kita tahu merdeka juga punya pengertian kedua, yaitu merdeka dalam arti positive liberty. Kalau merdeka positif itu kata kuncinya merdeka untuk apa. Kalau merdeka negatif itu merdeka dari apa,” ucapnya.
Kembali ke Pembukaan UUD ’45, Yudi Latif menuturkan pada alenia selanjutnya dalam pembukaan tersebut juga membicarakan tentang kemerdekaan positif.
Menurutnya, manusia hidup bukan hanya untuk melawan keburukan tetapi juga mengembangkan kebaikan amar ma’ruf. Penulis Buku Negara Paripurna ini menjelaskan bahwa, kedaulatan merupakan manifestasi dari kemerdekaan. Wujudnya bisa kedaulatan ke luar maupun ke dalam. Kedaulatan keluar adalah upaya bangsa ini diakui oleh bangsa lain, sementara kedaulatan kedalam merupakan usaha menentukan diri sendiri – role of law.
“Jadi kedaulatan itu juga ada aspek-aspek psikologisnya, mentalnya, yaitu betul-betul bangsa kita harus menjadi bangsa yang terhormat, bukan bangsa kuli, kita harus keluar dari jebakan inferiority kompleks,” tuturnya.
Dari kemerdekaan dan manifestasinya yang berupa kedaulatan, menurutnya adalah akhlak. Akhlak yang dimaksud adalah sebuah usaha mencapai idealisasi dari ideal moralitas yang bersumber dari ketuhanan, tanpa mengabaikan realitas makhluk yang beragam atau berbeda-beda.
“Jadi kemampuan kita untuk membumikan idealisasi etnis itu ke dalam kerangka kerja yang sifatnya kondisional, majemuk dan oleh karena itu tidak boleh kehilangan fleksibilitasnya”. Ungkap Yudi Latif.