Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DIY, Hendra Darmawan menyebut moderasi atau pandangan Islam Tengahan adalah watak yang konsisten dipegang Muhammadiyah dari masa Kiai Ahmad Dahlan hingga sekarang.
Menariknya, wawasan moderasi itu ditujukan bukan hanya untuk kehidupan keumatan lokal, tapi untuk kehidupan keumatan di seluruh dunia. Misalnya lewat perkataan Kiai Dahlan yang dikutip dari majalah Suara Muhammadiyah tahun 1926.
“Muhammadiyah hidup dan Muhammadiyah akan hidup bagi seluruh dunia. Muhammadiyah ialah menjadi bapaknya dunia yang akan mendidik dunia menjadi baik dan benar kalau Islam di dunia bakal bertakluk pada Muhammadiyah,” kutip Hendra.
Dalam forum Diskusi Kebangsaan bertajuk “Moderasi Indonesia: Islam Tengah dan Tantangan Persatuan Bangsa” oleh Pusat Studi Muhammadiyah UMY, Kamis (10/2), Hendra juga menyebut pandangan moderasi itu nampak jelas dalam pidato terakhir Kiai Ahmad Dahlan, yakni pidato berjudul “Tali Pengikat Hidup” pada Kongres Umat Islam Cirebon tahun 1922.
Setelah Kiai Ahmad Dahlan wafat pada 1923, Muhammadiyah menurutnya terus mengeluarkan pedoman resmi tentang paham moderat. Yang terbaru misalnya pada Muktamar ke-47 tahun 2015 di Makassar di mana Muhammadiyah membahas terkait fenomena ekstrimisme dan menghasilkan dokumen Negara Pancasila Darul Ahdi wa Syahadah.
“Dalam kehidupan kebangsaan yang terbuka, Muhammadiyah mengedepankan sikap moderat serta tidak saling melemahkan kelompok lain yang berbeda,” ungkapnya.
Pada perbedaan sendiri, Muhammadiyah memandangnya sebagai sunatullah dan khazanah yang memperkuat unsur kehidupan berkemajuan.
“Jadi di Muhammadiyah salah satu prinsip atau Manhaj Tarjih adalah keterbukaan. Sehingga jika ada fatwa Tarjih yang dianggap menyimpang atau jika umat ini mendapatkan dalil yang rajih (lebih absah), maka fatwa ini bisa diuji ulang,” terangnya.
Hendra lalu mencontohkan bagaimana Tarjih mengubah fatwa memasang foto Kiai Ahmad Dahlan dari haram menjadi boleh karena umat dianggap telah berpendidikan dan memiliki akidah yang kuat.
Pegangan ayat ke-110 Surat Ali Imran sebagai dasar dalam dakwah Muhammadiyah dianggap turut memperkuat berbagai dokumen tentang sikap dan pedoman Muhammadiyah mengenai moderasi.
Pada ayat tersebut, Muhammadiyah memaknai amar makruf sebagai humanisasi atau memanusiakan manusia, nahi munkar sebagai upaya liberasi atau pembebasan manusia dari berbagai hal yang membelenggu fitrah, dan tu’minuna billah sebagai unsur transendensi yang mendampingi dua aksi di atas.
“Kalau kita taati, kita pelajari dan kita perjungangkan nilai-nilai yang sudah diputuskan atau sudah ditanwirkan itu maka sungguh ada banyak hal yang bisa menjadi target capaian. Hanya kadang literasi dakwah kita harus kita tingkatkan,” pungkasnya. (afn)