PURWOKERTO—Indonesia merupakan negara yang bermasyarakat religius dan mejemuk. Meskipun bukan negara agama, masyarakat lekat dengan kehidupan beragama dan kemerdekaan beragama dijamin oleh konstitusi. Menjaga keseimbangan antara hak beragama dan dan komitmen kebangsaan menjadi tantangan bagi setiap warga negara.
Akan tetapi, terdapat tiga tantangan dalam mewujudkan moderasi beragama ini. Pertama, berkembangnya klaim kebenaran subyektif dan pemaksaan kehendak; kedua, berkembangnya cara pandangan, sikap, dan praktik beragama yang berlebihan (ekstrem); ketiga, berkembangnya semangat beragama yang tidak selaras dengan kecintaan berbangsa dalam bingkai NKRI.
Kepala Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Imam Syafei mengatakan bahwa dalam menghadapi ketiga tantangan di atas, maka dibutuhkan beberapa langkah. Seperti memperkuat esensi ajaran agama dalam kehidupan masyarakat, mengelola tafsir keagamaan dengan mencerdaskan kehidupan keberagamaan, dan merawat keindonesiaan.
“Moderasi beragama merupakan perekat antara semangat beragama dan komitmen berbangsa. Di Indonesia, beragama pada hakikatnya adalah berindonesia dan berindonesia itu pada hakikatnya adalah beragama,” tegas Imam Syafei dalam kegiatan Seminar Pra Muktamar pada Jumat (01/07).
Imam Syafei juga turut menegaskan bahwa moderasi beragama menjadi sarana mewujudkan kemaslahatan kehidupan beragama dan berbangsa yang harmonis, damai, dan toleran sehingga Indonesia maju. Moderasi beragama juga sesungguhnya merupakan kunci terciptanya toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global.
“Sekarang berbagai negara ingin belajar ke Indonesia bagaimana cara merawat keragaman. Karena itu teman-teman di Kemenag sedang menerjemahkan sebuah buku tentang Moderasi Beragama ke ragam bahasa, mudah-mudahan diikuti bangsa lain agar harmonis,” tutur Syafei.