DEMAKMU.COM | JAKARTA – Haji Fakhruddin (1890-1929), merupakan salah seorang dari delapan anak Haji Hasyim yang diserahkan pendidikannya kepada pendiri Muhammadiyah, Kiai Haji Ahmad Dahlan.
Pada masa hidupnya, Haji Fakhruddin diketahui berkhidmat sebagai anggota, sekretaris, hingga wakil ketua Hoofdbestuur (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah.
Sebagai murid yang mendapat sentuhan pendidikan langsung dari KH Ahmad Dahlan, Haji Fakhruddin memiliki standar yang ketat bagi siapa saja yang merasa bahwa dirinya adalah anggota atau warga Persyarikatan Muhammadiyah.
Syarat ketat tersebut adalah taat organisasi. Baik dari keanggotaan, sampai memahami seluruh pedoman AD/ART yang telah digariskan oleh Persyarikatan dan menjalankannya lahir batin.
Dalam buku Matahari-matahari Muhammadiyah (1980), Djarnawi Hadikusuma mengisahkan bagaimana Haji Fakhruddin mencecar seorang Mubaligh Muhammadiyah bernama Yunus Anis (kelak Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1959-1962) di kisaran tahun 1925.
Meski Yunus Anis adalah mubaligh yang rajin menyebarkan dakwah Muhammadiyah ke berbagai tempat, saat itu dirinya belum terdaftar sebagai anggota resmi Muhammadiyah.
Kepada Haji Fakhruddin, Yunus Anies mengatakan tidak perlu mendaftar sebagai anggota resmi karena merasa yakin bahwa hatinya telah merasa mantap sebagai warga Persyarikatan. Apalagi dia pernah menjadi guru Muhammadiyah, pengurus Muhammadiyah cabang Betawi, dan voorzitter (Ketua) Bagian Taman Pustaka dan Bagian Tabligh.
“Tapi dalam hati saya sudah merasa menjadi anggota dan saya sudah berbuat untuk Muhammadiyah. Yang perlu kan kerjanya…,” sanggah Yunus Anis.
Mendengar jawaban tersebut, Haji Fakhruddin segera menyanggah. Menurutnya, menjadi anggota Muhammadiyah tidak boleh separuh-separuh, namun harus lahir dan batin.
“Menjadi anggota Muhammadiyah harus lahir dan batin. Muhammadiyah tidak cukup hanya di batin saja. Harus menjadi anggota lahir-batin, harus bekerja lahir-batin, dan harus mengikuti peraturan Muhammadiyah!”
Atas teguran tersebut, Yunus Anis segera mendaftar menjadi anggota resmi Muhammadiyah. Namun, Haji Fakhruddin kembali mencecar dirinya dengan pertanyaan-pertanyaan terkait perkara AD/ART.
“Sudahkah engkau punya Statuten Muhammadiyah?”
“Sudah!” jawab Yunus Anies, “bahkan sering membagi-bagikannya kepada kawan-kawan yang membelinya.”
“Sudahkah kau baca seluruhnya dari A sampai Z?”
“Sudah saya baca tapi belum tamat, karena saya ambil yang perlu-perlu saja, dan saya cari pasal-pasal tertentu bila menemui kesulitan.”
“O… jadi dalam Statuten Muhammadiyah banyak perkara yang tidak perlu?”
Setelah itu, Haji Fakhruddin segera mengambil Statuten dari dalam almari, memberikan kepada Yunus Anis dan menyuruhnya membaca. Maka Yunus Anis pun membaca sampai tamat, diselingi pertanyaan dan penjelasan darinya.
Dari pendidikan tersebut, Yunus Anis kelak dikenal terpengaruh karakter dari Haji Fakhruddin. Misalnya, taat organisasi, rapi dalam hal administratif, hingga hafal seluruh isi pokok pikiran dalam Statuten (Anggaran Dasar) Muhammadiyah. (afn)