DEMAKMU.COM | Ketika pemilihan dan penyusunan pimpinan, baik menjelang musyawarah pimpinan maupun pasca terpilihnya pimpinan, kadangkala muncul berbagai pertanyaan, salah satunya yang sering terlontar ialah rangkap jabatan.
Sebenarnya secara yuridis telah diatur pada Anggaran Rumah Tangga (ART) Pasal 15 tentang Pemilihan Pimpinan, pada ayat 1 poin (g) tetulis “Tidak merangkap jabatan dengan pimpinan organisasi politik dan pimpinan organisasi yang amal usahanya sama dengan Muhammadiyah di semua tingkat.” dan pada point (h) “Tidak merangkap jabatan dengan Pimpinan Muhammadiyah dan amal usahanya, baik vertikal maupun horisontal.”
Demikian pula pada Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 35/SK/SK-PP/I-A/1.a/2001 tanggal 10 April 2001 tentang Pedoman Rangkap Jabatan dalam Pimpinan Persyarikatan (intern organisasi). Di Jawa Tengah sendiri telah dirumuskan hal serupa dalam Musyawarah Wilayah (Musywil) Muhammadiyah di Purworejo pada tanggal 8 – 10 Oktober 2010. Salah satu amanat Musywil ketika itu yakni agar PWM Jawa Tengah lebih tegas dan selektif dalam pelarangan rangkap jabatan dan pemberian sanksi kepada yang melanggarnya.
Secara historis, apabila kita telusuri jejak pendiri Persyarikatan Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan justru memegang jabatan di beberapa organisasi di luar Muhammadiyah, seperti di Budi Utomo, Jamiah al-Khairiyah bahkan di partai politik seperti Syarikat Islam. Haji Mas Mansyur selain sebagai Ketua PP Muhammadiyah tempo dulu, juga aktif di arena kebangsaan seperti Tiga Serangkai. Bahkan ia bersama KH Wahab Khasbulloh seorang tokoh NU mendirikan Nahdlatul Wathon.
Berdasarkan hal tersebut, saya kira Muhammadiyah dalam pertumbuhan dan perkembangannya sehingga menjadi besar bukan karena pimpinannya bersifat ekslusif, dalam arti hanya berkecimpung di Muhammadiyah saja. Tetapi Muhammadiyah berkembang menjadi besar karena pimpinannya inklusif, yakni aktif di mana-mana namun tetap komitmen pada cita-cita besar Muhammadiyah. Hal ini sesuai dengan pendapat Emile Durkhaim, seorang sosiolog, bahwa sebuah masyarakat akan eksis apabila dalam bangunan komunikasinya mengedepankan aspek fungsional. Selanjutnya dia berpendapat dalam masyarakat modern akan banyak muncul orang yang memiliki fungsionalis yang beragam (multifungsi).
Maka kritik Kuntowijoyo tentang bangunan struktur Muhammadiyah dengan memasukkan bidang-bidang profesi dalam struktur Muhammadiyah hendaknya mendapat perhatian dari Pimpinan Muhammadiyah. Karena, selama ini dakwah Muhammadiyah belum secara langsung menyentuh dimensi profesi, seperti : pengacara, wartawan, nelayan, buruh, dan lain-lain.
Di era sekarang banyak orang yang memiliki profesi lebih dari satu. Dan ini realitas yang tidak bisa dimungkiri. Maka larangan rangkap jabatan di Muhammadiyah menurut saya adalah suatu hal yang perlu dievaluasi, apalagi kenyataannya cukup banyak pimpinan Muhammadiyah di semua level yang rangkap jabatan, istilah yang popular ‘jeruk makan jeruk’. Apalagi kalau keputusan rangkap jabatan itu diterapkan di daerah yang masyarakatnya minim orang Muhammadiyah, maka Muhammadiyah akan kehilangan lahan dakwah dan sulit menjadi payung atau tenda umat.
Apabila keputusan rangkap jabatan tetap dipertahankan, maka Muhammadiyah ke depan hanya dipimpin oleh orang-orang yang hanya memiliki satu profesi, dan mungkin profesinya sebagai pekerja di Muhammadiyah. Sehingga menutup diri dari calon-calon pimpinan yang sukses di berbagai profesi meskipun dia adalah anak kandung Muhammadiyah. Tulisan ini merupakan sebuah renungan dan saya kira perlu didialogkan, dengan niatan untuk membesarkan Muhammadiyah. Maturnuwun.
Editor : M Taufiq Ulinuha
*Sekretaris PWM Jawa Tengah, Dosen UIN Walisongo Semarang.