DEMAKMU.COM | YOGYAKARTA – Setiap rancangan kebijakan, bahkan roadmap arah bangsa sering ditemukan distorsi pada titik yang sama dan itu merupakan titik paling krusial, yaitu lepasnya elaborasi dari pemikiran dasar dalam Pembukaan dan Batang Tubuh serta nilai-nilai yang terkandung dalam UUD 45.
Demikian disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir pada, Senin (3/7) dalam acara FGD Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 yang diselenggarakan Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah di SM Tower and Convention.
Secara tegas Haedar meminta supaya distoris tersebut tidak terjadi lagi. Oleh karena itu, setiap rancangan peraturan, undang-undang dan roadmap supaya merujuk dan mengelaborasi pembukaan, batang tubuh dan nilai-nilai yang terkandung di dalam UUD 45.
Guru Besar Sosiologi ini mencontohkan, di dalam roadmap pendidikan, di mana agama tidak masuk bahkan terjadi peyoratif tentang agama. Termasuk juga tidak ada elaborasi dari pembukaan, batang tubuh dan nilai-nilai di dalam UUD 45.
“Di pendidikan bahkan nyaris tidak dijabarkan dari Pasal 31, padahal itu tegas, jelas dan tidak multitafsir, bahwa di situ pendidikan nasional berlandaskan iman, takwa, akhlak mulia, kemudian pembangunan pendidikan berdasarkan nilai agama dan persatuan bangsa.” Ungkapnya.
Padahal agama merupakan salah satu nilai dasar yang senantiasa hidup di bangsa Indonesia, selain Pancasila dan Kebudayaan Luhur Bangsa. Bahkan jika tanpa ketiga nilai dasar ini, Indonesia menurut Haedar hanyalah ragat fisik saja, yang tidak berjiwa.
Indonesia yang Berjiwa
Tiga nilai dasar tersebut menyeimbangkan pembangunan Indonesia, yaitu Indonesia yang membangun bukan hanya fisik tetapi juga bangsa sebagai jiwa sebagai motor penggerak dari eksistensi Indonesia itu sendiri.
Mengutip Supomo, Haedar menyebut bahwa Indonesia yang dibangun setelah kemerdekaan ini adalah sebuah negara yang bernyawa, bukan sekedar bangunan fisik, tetapi Indonesia yang punya jiwa. Pandangan tersebut, tidak berbeda dengan yang dimiliki oleh Sukarno.
“Kita selalu rancangan-rancangan itu putus di sini, maka muncul rumusan yang discontinue atau malah mengalami fragmentasi dari nilai dasar.” Tuturnya.
Dalam buku Indonesia Berkemajuan yang diterbitkan oleh PP Muhammadiyah pada 2019 disebutkan, bahwa bangsa ini saat ini mengalami stagnasi yaitu suatu keadaan pemikiran yang berhenti, tidak ke belakang, sekaligus bergerak ke depan namun terputus dari belakang/masa lalu Indonesia.
Selain itu, pemikirannya juga mengalami distorsi, yaitu penyimpangan setelah perjumpaan dengan pemikiran-pemikiran baru yang tidak sejalan dengan nilai-nilai dasar yang dipedomani. Salah satunya, dorongan untuk menjadi negara sekuler jika Indonesia ingin mencapai kemajuan.
Pemikiran selanjutnya yang mengganggu adalah pemikiran ekstrim yang tumbuh dalam komponen bangsa, maupun di negara itu sendiri. Padahal jika merujuk kepada berbagai sumber, pendiri negara ini sepakat pada berbagai hal yang mendasar, pandangan yang dirujuk adalah pemikiran yang moderat – titik tengah.
“Tapi titik tengahnya itu yang eklektik, jadi kalau disebut moderat itu tidak murni di tengah banget dan selalu linier.” Tutur Haedar.
Agama yang Memajukan Kehidupan Bangsa
Tawaran memisahkan antara agama dan negara seakan menemukan momentumnya, karena sering terjadi masalah yang disebabkan oleh agama. Di sisi lain juga umat beragama mengalami kelemahan dalam memahami agama, sekaligus tidak mampu memahami konteks sosial atau perkembangan zaman yang dihadapi.
Pada sisi yang kedua tersebut, melahirkan praktik beragama yang rigid dan hanya seputar ritus simbolis dan banalitas dalam beragama. Cara pandangan terhadap agama yang salah itu menjadikan umat beragama sad back, berkutat dalam perdebatan-perdebatan yang tidak perlu, yang tidak berimbas pada kemajuan.
“Hari gini kok kita masih nginceng-nginceng bulan terus, ketika orang sudah maju. Padahal matahari, bulan dan bumi itu exacta, sekali dia beredar ya dia akan beredar. Dia tidak akan mundur, berbeda dengan jam tangan kita yang masih bisa kita undur-undurkan.” Ungkap Haedar.
Terkait dengan kesepakatan waktu, Haedar memandang pentingnya kehadiran Kalender Islam Global untuk menyatukan perbedaan-perbedaan yang seringkali menguras energi umat Islam — membawa umat ini ke medan perdebatan tidak berujung. Dalam konteks persatuan umat, Muhammadiyah perlu hadir memberikan alternatif melalui pendekatan perangkat keilmuan yang berkembang sekarang.
Pasalnya Indonesia tidak bisa dan tidak boleh disekulerkan, sebab antara agama dan umat beragama merupakan entitas yang menyatu dengan keindonesiaan. Agama dan umat beragama ini merupakan jiwa yang menghidupkan ragat besar yang bernama Indonesia.