Terma dakwah di lingkungan Persyarikatan bukan hanya ceramah di atas mimbar. Dakwah sejatinya menyeru manusia dan menuntun mereka untuk beriman, beramal, dan berakhlak dengan segala apa yang telah diajarkan Allah dalam Al Quran dan dituntunkan dalam Sunah Al Maqbulah berupa perintah, larangan, dan petunjuk untuk kemaslahatan di dunia dan akhirat.
Di Muhammadiyah, keberadaan amal usaha seperti rumah sakit, sekolah, panti asuhan, dan lembag-lembaga lainnya merupakan bentuk dakwah persyarikatan dalam menyebarluaskan nilai-nilai Islam untuk membangun tauhid kepada Allah SWT. Harapannya dengan adanya amal usaha yang bergerak dalam wilayah sosial-keagamaan ini dapat terwujudnya masyakat Islam yang sebenar-benarnya.
“Dakwah yang seperti ini tidak mudah dan tidak semua orang melakukan, kualifikasi yang dimiliki sangat kompleks. Kalau (dakwah) di youtube, tanpa kompetensi juga bisa,” tutur Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah Fathurrahman Kamal dalam Seminar Pra-Muktamar yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Magelang pada Senin (23/05).
Bagi Fathurrahman, definisi dakwah yang dipahami Muhammadiyah ini, sejalan dengan pandangan Thayyib Burghuts yang menegaskan bahwa dakwah adalah sebuah kerja keras yang sistematis dan terstruktur bertujuan untuk mengenalkan hakekat Islam kepada manusia, melakukan perubahan mendasar dan seimbang dalam kehidupan mereka. caranya dengan menjalankan segala kewajiban kekhilafahan untuk mencari ridha Allah dan menggapai kemenangan yang dijanjikan-Nya kepada orang-orang salih dalam kehidupan akhirat.
“Dakwah merupakan proses transformasi dinamik nilai-nilai Islam yang bertujuan agar manusia memperoleh suatu pencerahan di dalam cara berfikir, sikap mental, dan perilaku berdasarkan ajaran Islam atau maqashid syariah,” terang Fathurrahman.
Dakwah juga sering diterjemahkan dengan istilah amar maruf nahi mungkar dan tu’min bil Allah. Mengutip cendekiawan muslim Kuntowijoyo, Fathurrahman menerangkan bahwa al-amr bi al-ma’ruf merupakan proses humanisasi, al-nahy ‘an al-munkar adalah proses liberasi, dan tu’min bi Allah sejalan dengan proses transendensi. Dari pengertian ini, implikasinya bagi warga persyarikatan ialah menjadikan semua kegiatan sebagai aktivitas dakwah bagi perwujudan proses humanisasi, liberasi, dan transendensi, berbasis pada Islam sebagaimana yang diyakini Muhammadiyah.
Karenanya, ujar Fathurrahman, dalam pandangan Muhammadiyah, dakwah bersifat menyeluruh, komprehensif, dan integral. Tidak bersifat lisan dan tulisan semata, tetapi sekaligus diwujudkan dalam bentuk amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, pemberdayaan masyarakat, dan peran-peran kebangsaan secara lebih luas yang dilaksanakan dengan sistem organisasi di seluruh wilayah NKRI, dan di dunia internasional.
Dari definisi di atas, peta dakwah Muhamamdiyah meliputi: membebaskan kemanusiaan universal dari penghambaan diri kepada selain Allah, termasuk penindasan manusia dan materi. Selain itu, memberdayakan kemanusiaan dengan memberikan jawaban atas problem kemanusiaan seperti kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan persoalan-persoalan yang bercorak kultural dan struktural.
“Saya tidak rela bila dakwah hanya di ruang lingkup sosial media saja, misalnya, hanya jadi aktivitas youtuber. Kita jangan kehilangan substansi dari dakwah itu sendiri,” tutur alumni Universitas Islam Madinah, Kerajaan Arab Saudi tahun 1999 ini.