Tahun ini, Indonesia merayakan dirgahayu ke-79. Kemerdekaan Indonesia diusahakan oleh berbagai elemen bangsa, termasuk Muhammadiyah. Beberapa tokoh kunci dalam gerilya, sidang persiapan kemerdekaan hingga Proklamasi adalah anggota Muhammadiyah, antara lain; Jenderal Soedirman, Ir. Sukarno, Fatmawati, Ki Bagus Hadikusumo, Kiai Mas Mansur, Kasman Singodimedjo, dan lain-lain.
Meski tercatat sebagai organisasi yang paling banyak menyumbang Pahlawan Nasional (23 orang), kiprah Muhammadiyah terhadap kemerdekaan tidak selayaknya diukur dari jumlah itu saja. Melainkan dari bangunan utuh yang telah dipersiapkan sejak kelahiran Muhammadiyah pada 1912.
Revolusi Alam Pikiran dan Pemahaman Keislaman
Sejak kanak-kanak hingga dewasa, Kiai Ahmad Dahlan tumbuh dalam suasana apokaliptik kolonialisme. Kekacauan terjadi di mana-mana; bencana alam (meletusnya Krakatau 1883) hingga peperangan dan pemberontakan melawan penjajah di Aceh, Deli, Jawa, Bali, hingga Indonesia Timur. Selain menderita, masyarakat pribumi dan kaum muslimin pada umumnya tidak bisa baca tulis, jumud, miskin, dan tidak sehat.
Alih-alih memimpin gerakan revolusioner serupa (yang pada umumnya berakhir gagal), Kiai Ahmad Dahlan memilih jalur kultural lewat Muhammadiyah. Kemerdekaan, mustahil diperjuangkan dengan kondisi manusia yang demikian.
Ijtihad Kiai Ahmad Dahlan sejalan dengan apa yang dilakukan Imam Al-Ghazali saat terjadi Perang Salib. Daripada berjihad fisik, Al-Ghazali memilih menulis Ihya’ Ulumuddin dan membangun zawiyah (madrasah). Menurut Al-Ghazali, kekalahan umat berasal dari penyakit batin; saling berpecah, fanatik mazhab, bodoh, ulama suu’ (jahat), hingga dikotomis dalam memandang dunia dan akhirat. Penyakit batin itulah yang perlu disembuhkan lebih dahulu sebelum melawan musuh. (Al-Kilani, 2008)
Saat Kiai Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, fokus utama yang menjadi perhatian adalah perbaikan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Berangkat dari ide khairu ummah (umat terbaik, QS. Ali Imran 3:110), beliau ingin Alquran tidak berhenti menjadi sekadar dogma dan rapalan, tetapi ayat yang bertenaga dan mampu membawa perubahan nyata. Maka Muhammadiyah menyasar sektor yang saat itu hampir tak tersentuh, yang belakangan dikenal dengan SDG’s (Sustainable Development Goals); pendidikan, kesehatan, kepemimpinan, soft skills – hard skills, kaderisasi, hingga membangun kesadaran nasional.
Tujuan ini dapat dibaca lewat poin Statuten (Anggaran Dasar) Muhammadiyah 1914 yang berbunyi:
- Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama (Islam) di Hindia Nederland,
- Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama Islam kepada lid-lidnya.
Menyiapkan Modal & Prasyarat Kemerdekaan
Pada dekade pertama (1912-1923), Muhammadiyah membangun basis gerakan di Pulau Jawa kendati telah memiliki banyak simpatisan di luar pulau lewat sebaran Majalah Suara Muhammadiyah (terbit pertama tahun 1915). Sampai tahun 1923, Muhammadiyah telah memiliki 14 cabang dari Jakarta sampai Surabaya.
Pada periode inilah Muhammadiyah memelopori beragam Amal Usaha untuk memperbaiki kualitas SDM pribumi dari sekolah, madrasah modern, klinik, rumah yatim, panti sosial, dan rumah sakit. Bahkan, mimpi pendirian Universitas Muhammadiyah telah disampaikan oleh Ketua Bagian Sekolahan, Kiai Hisyam bin Haji Hoesni kepada Kiai Ahmad Dahlan dalam rapat tanggal 17 Juli 1920 di Gedung Hoofdbestuur Muhammadiyah Kauman, Yogyakarta.
Bukan hanya lembaga pendidikan dan kesehatan, Muhammadiyah juga mengajarkan kepemimpinan, organisasi, wawasan kebangsaan dan Keislaman lewat gerakan perempuan muda Sopo Tresno (1914, pada 1917 berubah menjadi ‘Aisyiyah), hingga kepanduan Hizbul Wathan (1918) yang kelak melahirkan banyak tokoh nasional; Jenderal Soedirman, Adam Malik, Letkol Moh. Sroedji, Sarbini dan Syarbini, dan Presiden Soeharto.
Setelah model gerakan di Jawa kokoh, Muhammadiyah baru meluaskan jaringannya ke pulau-pulau lain di Nusantara lewat beberapa tokoh kunci seperti AR Sutan Mansur, dan Junus Anies. Cabang Muhammadiyah bahkan telah berdiri di Makassar dan Papua (1926), Aceh (1928), Gorontalo (1929), Bengkulu (1929), termasuk di perbatasan Filipina, Kepulauan Talaud pada 1928.
Dengan tersebarnya cabang dan jaringan yang luas di Nusantara, Muhammadiyah makin mudah menjaring sekaligus mendidik bibit-bibit muda potensial bagi Indonesia. Forum rutin organisasi seperti Muktamar dan Tanwir, kerap dimanfaatkan peserta yang datang dari berbagai daerah untuk membahas strategi perjuangan dan gagasan Indonesia merdeka. (Fatmawati, 1985)
Upaya menggalang modal kemerdekaan juga dilakukan oleh anak organisasi seperti ‘Aisyiyah yang terlibat sebagai salah satu inisiator Kongres Perempuan I tahun 1928. Dua tokoh yang terlibat antara lain Siti Hajinah Mawardi, Siti Munjiyah, dan Siti Sukaptinah Sunarjo Mangunpuspito.
Enam tahun sebelum Kongres Perempuan dan Kongres Pemuda II 1928 yang fenomenal, terbitan majalah Suara Muhammadiyah di bawah pimpinan Haji Fachrudin telah menggunakan sekaligus menganjurkan bahasa Melayu sebagai sikap emansipasi dan sikap anti kolonialisme.
Buah Kaderisasi Muhammadiyah
Melimpahnya kader-kader Muhammadiyah menjadi jawaban ketika Indonesia menuju kemerdekaan. Tokoh ulama, cendekiawan, politisi, hingga militer dari latar belakang Muhammadiyah banyak mengambil peran kunci pada situasi genting seperti saat persiapan kemerdekaan, proklamasi, agresi militer, hingga pasca kemerdekaan.
23 nama pahlawan nasional dari Muhammadiyah adalah sebagian kecil dari banyaknya tokoh Muhammadiyah yang ikut membangun kemerdekaan Indonesia. 23 nama tersebut antara lain;
- Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah,
- Siti Walidah, penggagas emansipasi perempuan muslim,
- Sukarno, Proklamator, Presiden RI ke-1, Ketua Bagian Pengajaran Muhammadiyah Bengkulu,
- Fatmawati, penjahit bendera Merah Putih, anggota Nasyiatul Aisyiyah Bengkulu,
- Jenderal Soedirman, Bapak TNI, guru Muhammadiyah dan anggota Hizbul Wathan,
- Soetomo, pendiri Budi Utomo, anggota PKO Muhammadiyah,
- Haji Agus Salim, Diplomat, anggota Muhammadiyah di masa KH Ahmad Dahlan,
- Mas Mansur, tokoh Empat Serangkai, Ketua PP Muhammadiyah,
- Djuanda Kartawidjaja, Bapak Maritim, pengurus Muhammadiyah Tasikmalaya dan guru SMA Muhammadiyah Kramat, Jakarta,
- Haji Fachruddin, tokoh pers, pendiri Suara Muhammadiyah,
- Otto Iskandar Dinata, anggota BPUPKI, pengusul Sukarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden, guru SMA Muhammadiyah Kramat Jakarta,
- Andi Sultan Daeng Radja, peserta Kongres Pemuda 1928 dan pemrakarsa PPNI, pegiat Muhammadiyah Bulukumba,
- Teuku H Muhammad Hasan, wakil ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), tokoh Muhammadiyah Aceh,
- Adam Malik, wakil Presiden RI, anggota Hizbul Wathan,
- Buya Hamka, ulama kharismatik, anggota Muhammadiyah,
- Ki Bagus Hadikusumo, anggota BPUPKI dan PPKI, tokoh kunci Piagam Jakarta, Kerua PP Muhammadiyah,
- Nani Wartabone, pejuang kemerdekaan, anggota Muhammadiyah,
- Lafran Pane, pendiri HMI, anggota Muhammadiyah,
- AR Baswedan, Diplomat, anggota BPUPKI, mubaligh Muhammadiyah,
- Gatot Mangkupraja, perintis Pembela Tanah Air (PETA), Wakil Ketua PP Muhamadiyah,
- Letkol Mohammad Sroedji, pejuang kemerdekaan, anggota Hizbul Wathan,
- Abdul Kahar Muzakkir, diplomat, anggota PP Muhammadiyah,
- Kasman Singodimedjo, Komandan PETA dan BKR, Jaksa Agung pertama RI, anggota PP Muhammadiyah.
Selain nama-nama di atas, Muhammadiyah masih memiliki banyak tokoh yang berkiprah dalam perjuangan kemerdekaan di shaf terdepan, misalnya Oey Tjeng Hien (pendiri PITI), Samaun Bakri (jurnalis), H.M Rasjidi (Diplomat dan Menteri Agama RI pertama), Sjamsuddin Sutan Makmur & Muljadi Djojomartono (Menteri Sosial), H.M Farid Ma’roef (Diplomat), R.M. Saroso Notosuparto atau Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) (Mangkunegara VIII), Askar Perang Sabil, Mohammad Roem, dan yang lainnya.
Peran Muhammadiyah di atas adalah ingatan yang harus terus dirawat oleh bangsa Indonesia, lebih-lebih kader Muhammadiyah sendiri: bahwa kemerdekaan yang hari ini kita nikmati bukanlah sekadar catatan sejarah, melainkan pijakan tangga yang harus dilanjutkan perjuangannya. Sampai kapan? Sampai kehidupan bangsa Indonesia benar-benar maju dan gembira.
Sumber:
Fatmawati, Catatan Kecil Bersama Bung Karno, 1985
Majid Irsan Al-Kilani, Hakadza Zhahara Jiilu Shalahuddin wa Hakadza ‘Aadat Al-Quds, 2008