YOGYAKARTA – Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jannatul Husna, memaparkan bahwa Muhammadiyah memiliki tiga pendekatan pokok dalam memahami hadis, yaitu tekstual, kontekstual, dan intertekstual.
Menurut Husna, metode ini merupakan upaya Muhammadiyah untuk memahami sunnah Nabi secara komprehensif sesuai prinsip tajdid dan ijtihad yang menjadi ciri khas gerakan ini. Ketiga pendekatan tersebut, lanjutnya, tidak saling menegasikan, melainkan saling melengkapi agar pemahaman terhadap hadis tetap berpegang pada nash, tetapi juga relevan dengan perkembangan zaman.
Paparan yang disampaikan dalam forum Sekolah Kader Tarjih yang diselenggarakan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Daerah Istimewa Yogyakarta di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) pada Ahad (19/10) ini, ketiga metode tersebut secara rinci sebagai berikut:
Pertama, Pemahaman Tekstual
Metode tekstual (al-fahm al-naṣṣī) berarti memahami hadis berdasarkan makna lahiriah teks sebagaimana bunyi aslinya. Pendekatan ini menekankan pentingnya aspek kebahasaan, seperti makna asal (haqiqi) dan majazi, serta digunakan terutama untuk perkara akidah, ibadah mahdhah, dan hal-hal yang bersifat gaib.
Contohnya, bacaan salat dan ucapan shalawat dalam ibadah dipahami sebagaimana teks hadis tanpa ditambah atau diubah, karena menyangkut tata cara ibadah yang bersifat ta‘abbudi (penghambaan murni). Begitu pula dengan larangan makan dan minum dengan tangan kiri, yang dipahami secara literal sebagai adab makan yang harus dijaga.
“Pendekatan tekstual penting agar pemaknaan hadis tidak lepas dari makna dasarnya,” jelas Husna. Dalam praktiknya, Muhammadiyah menggunakan metode kebahasaan untuk menggali makna zahir hadis sebagaimana dilakukan oleh para ulama klasik.
Kedua, Pemahaman Kontekstual
Metode kontekstual (al-fahm al-siyāqī) menekankan pentingnya memahami hadis dengan mempertimbangkan sebab munculnya (sabab wurud), latar sosial-budaya, psikologis, dan tujuan syariat (maqāṣid al-syarī‘ah).
Menurut Husna, pendekatan ini menunjukkan fleksibilitas Islam sebagai ajaran yang “shalih li kulli zaman wa makan”—relevan untuk setiap waktu dan tempat.
Contohnya, hadis tentang pembacaan basmalah sebelum salat. Muhammadiyah melalui keputusan Munas Tarjih 2010 menjelaskan bahwa basmalah boleh dibaca dengan suara keras ataupun lirih. Begitu pula dalam kasus perbedaan cara sujud, umat Islam diberi kelonggaran untuk mengikuti yang paling mudah dan tidak menyulitkan.
Begitu juga dengan hadis larangan menggambar atau membuat patung. Dalam konteks masa kini, pemahaman terhadap hadis tersebut perlu memperhatikan tujuan dan fungsi. Selama tidak dimaksudkan untuk disembah atau dijadikan berhala, seperti dalam dunia pendidikan atau seni, maka hukumnya tidak terlarang.
“Pendekatan kontekstual menjadikan Islam adaptif terhadap realitas sosial tanpa meninggalkan prinsip syariat,” ujarnya.
Ketiga, Pemahaman Intertekstual
Metode intertekstual (al-‘alaqah bayna al-nuṣūṣ) adalah cara memahami hadis dengan memperhatikan hubungan dan keserasian antara hadis dengan sumber teks lainnya, seperti Al-Qur’an, hadis-hadis lain, serta pendapat sahabat.
Husna menegaskan bahwa tidak ada satu pun hadis sahih yang bertentangan dengan ayat Al-Qur’an yang muhkam (tegas). Karena itu, setiap hadis harus dipahami dalam keselarasan antar-nash.
Misalnya, hadis yang menyebut seseorang disiksa karena tangisan keluarganya tidak bisa dipahami bertentangan dengan ayat Al-Qur’an yang menegaskan bahwa “seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain.” Dengan membaca hadis-hadis lain yang terkait, makna yang dimaksud adalah peringatan terhadap sikap berlebihan dalam meratapi kematian, bukan menyalahkan si mayit.
Pendekatan ini juga digunakan Muhammadiyah dalam menentukan hukum isbal (memanjangkan pakaian di bawah mata kaki). Berdasarkan pengumpulan seluruh hadis bertema sama, Majelis Tarjih menyimpulkan bahwa hukum isbal adalah mubah (boleh) selama tidak didasari kesombongan.
Husna menjelaskan bahwa ketiga metode ini menjadi ciri khas manhaj tarjih Muhammadiyah dalam memahami sunnah: berpijak pada teks, kontekstual terhadap realitas, dan terhubung dengan keseluruhan ajaran Islam.