لْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ
إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Mengawali khutbah ini, khatib berwasiat kepada diri pribadi dan semua jama’ah, mari senantiasa kita tingkatkan ketakwaan pada Allah SWT dengan melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya dengan penuh keikhlasan. Shalawat dan salam marilah kita limpahkan kepada Nabi Agung kita yakni Nabi Muhammad Saw.
Maa’syiral Muslimin rahimakumullah
Situasi yang tidak jelas kapan akan berakhir pandemi Covid-19 ini telah membuat sebagian orang mulai kelelahan. Banyak di antara kita yang merasa sudah sangat bosan dan cenderung pasrah terhadap keadaan. Bahkan ada orang yang sudah tidak peduli lagi akan terkena Covid-19 atau tidak. Fenomena ini tentu saja memprihatinkan. Makanya, aturan pertama dalam melawan wabah adalah terus merawat optimisme.
Islam tidak mengajarkan untuk memandang hidup dengan penuh pesimisme. Sebab, Allah SWT telah melarang orang yang beriman untuk berputus asa dari rahmat-Nya. Sebagaimana Firman Allah:
يٰبَنِيَّ اذْهَبُوْا فَتَحَسَّسُوْا مِنْ يُّوْسُفَ وَاَخِيْهِ وَلَا تَا۟يْـَٔسُوْا مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ لَا يَا۟يْـَٔسُ مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ اِلَّا الْقَوْمُ الْكٰفِرُوْنَ
“Wahai anak-anakku! Pergilah kamu, carilah (berita) tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir” (QS. Yusuf: 87).
Al Quran juga tidak menyarankan kita berputus asa karena ditimpa malapetaka dan musibah serta jangan sombong dan lalai beribadah tatkala diberi kenikmatan. Allah berfirman:
وَاِذَآ اَنْعَمْنَا عَلَى الْاِنْسَانِ اَعْرَضَ وَنَاٰ بِجَانِبِهٖۚ وَاِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ كَانَ يَـُٔوْسًا
“Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia, niscaya dia berpaling dan menjauhkan diri dengan sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan, niscaya dia berputus asa” (QS. Al-Isra: 83).
وَلَىِٕنْ اَذَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنَّا رَحْمَةً ثُمَّ نَزَعْنٰهَا مِنْهُۚ اِنَّهٗ لَيَـُٔوْسٌ كَفُوْرٌ
“Dan jika Kami berikan rahmat Kami kepada manusia, kemudian (rahmat itu) Kami cabut kembali, pastilah dia menjadi putus asa dan tidak berterima kasih” (QS. Huud : 9).
Berdasarkan ayat-ayat di atas, putus asa merupakan perbuatan yang dilarang Allah Swt, bahkan mengindikasikan sebuah kekufuran. Jiwa orang yang optimis adalah jiwa orang yang beriman. Karena keimanan yang dimiliki seseorang mustahil akan berputus asa atau kehilangan arah.
Jamaah jumat yang berbahagia.
Dalam Islam, sikap optimistis ditunjukkan dengan berprasangka baik kepada Allah bahwa dalam setiap kesulitan dan permasalahan terdapat kemudahan dan jalan keluar (QS. Al-Insyirah: 5). Di antara lafadz al-Quran yang representatif mengarah pada makna optimisme ialah shabara atau kemampuan mengontrol hawa nafsu. Allah berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ
“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar” (QS. Al Baqarah: 155).
Bersabar tidak berarti pasif dan menerima kesulitan itu begitu saja, melainkan terus mencari solusi agar terlepas dari kesulitan. Sebagaimana sikap optimis, sabar juga berarti memiliki keteguhan hati, tidak gegabah dalam bertindak, dan senantiasa berpandangan bahwa apa yang terjadi merupakan ketetapan Allah Swt.
Selain shabara, ada pula la tahzan atau jangan bersedih. Allah berfirman:
لَا تَحۡزَنۡ اِنَّ اللّٰهَ مَعَنَا ۚ
“Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita” (QS At Taubah: 40).
Makna “La Tahzan” menunjukkan bahwa sebenarnya segala hal yang terjadi, termasuk kesedihan dan kesusahan adalah sebagai bentuk agar hamba-Nya kembali kepada Allah. Maka dengan mengetahui bahwa seluruh masalah yang dihadapi adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, tidak ada perlu lagi yang disedihkan. Menghilangkan kesedihan akan menambah daya optimisme dalam diri orang beriman.
Selanjutnya ada iktisab atau berusaha. Sebagaimana dalam firman-Nya:
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ ۗ لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوْا ۗ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۗوَسْـَٔلُوا اللّٰهَ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. An-Nisa’: 32).
Sesungguhnya karunia Allah akan datang kepada mereka yang senantiasa berusaha dengan bersungguh-sungguh dalam berikhtiar. Dengan ikhtiar kita bisa menambah dan mendorong manusia untuk terus optimistis dalam menggapai suatu tujuan. Meski demikian, betapa pun kuatnya ikhtiar yang dijalankan, jangan sampai melemahkan tawakal kepada Allah SWT.
Jamaah jumat yang dimuliakan Allah.
Dari ketiga kata di atas, yakni shabara, la tahzan, dan iktisab, dapat kita katakan bahwa optimisme sejalan dengan prinsip-prinsip Islam Wasathiyah. Hal tersebut lantaran Islam mengecam sikap ekstrem di semua dimensi hidup; dalam ibadah ritual, dilarang untuk ghuluw (QS. An-Nisa: 171), untuk muamalah dilarang keras untuk israf (QS. Al-a’raf: 31), bahkan ketika harus berperang, maka tidak boleh ada tindakan-tindakan ekstrem di dalamnya (QS. Al-Baqarah: 190). Konsep-konsep dasar ini menjadi pijakan oleh para ulama sehingga selama 14 abad usianya, ideologi-ideologi ekstrem selalu marginal dan tertolak dalam Islam.
Wasathiyah sebagai sikap dasar keagamaan memiliki pijakan kuat pada ayat Al-Quran tentang Ummatan Wasatha dalam QS. al-Baqarah ayat 143, di mana Allah berfirman:
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”(QS. al-Baqarah: 143).
Beberapa aspek penting dari wasathiyah yang sejalan dengan sikap optimistik ialah i’tidal, yakni berperilaku adil dengan tanggung jawab; tasamuh, mengenali dan menghormati perbedaan dalam semua aspek kehidupan; syura, mengedepankan konsultasi dan menyelesaikan masalah melalui musyawarah.
Dimensi wasathiyah juga mencakup islah yang bermakna terlibat dalam tindakan yang reformatif dan konstruktif untuk kebaikan bersama. Upaya islah ini dilakukan dengan memegang prinsip qudwah, yakni merintis inisiatif mulia dan memimpin umat untuk kesejahteraan manusia. Konsep wasathiyah juga mengakui muwathanah yakni pengakuan pada eksistensi dan kedaulatan negara bangsa, serta posisi sejajar dari semua warga negaranya.
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Khutbah Kedua
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ
إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَقَرَابَتِهِ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّاتِهِ أَجْمَعِيْنَ.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ وَيَا قَاضِيَ الْحَاجَاتِ
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ