Hak politik setiap warga negara harus dijamin oleh pemerintah tak terkecuali para pemilih dalam kategori rentan yaitu penyandang disabilitas, lansia maupun perempuan hamil. Pemilu 2024 harus inklusif, tidak boleh seorangpun tidak dapat menggunakan hak pilihnya dengan baik dan nyaman. Untuk mewujudkan Pemilu 2024 Inklusif, penting mengawal penyelenggaraan Pemilu melalui pemantauan.
Dalam rangka mendorong penyelenggaraan pemilu substantif dan inklusif, ‘Aisyiyah melalui program Inklusi melakukan pemantauan pemilu yang melibatkan 210 pemantau di 210 TPS, di 104 desa, 38 kecamatan, 10 kabupaten, dan 5 provinsi. Adapun 10 kabupaten tersebut meliputi Kolaka dan Muna Barat di Sulawesi Tenggara, Banjar dan Hulu Sungai Utara di Kalimantan Selatan, Banyuasin dan Lahat di Sumatera Selatan, Probolinggo dan Bojonegoro di Jawa Timur, serta Garut, dan Tasikmalaya di Jawa Barat. ‘Aisyiyah dapat melakukan pemantauan karena menjadi bagian dalam konsorsium Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR).
Tri Hastuti Nur Rochimah, selaku Sekretaris Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah menyatakan bahwa penyelenggaraan Pemilu hendaknya bersifat substantif dan inklusif. Sayangnya, hasil pemantauan yang dilakukan ‘Aisyiyah menunjukkan masih ditemukan adanya politik uang. Sebanyak 43 (20%) pemantau, menyatakan masih ada praktik politik uang yang dilakukan oleh caleg/partai dengan memberikan uang, barang, maupun memberikan uang sekaligus barang.
Kenyataan tersebut, imbuh Tri, sangat memprihatinkan karena politik uang telah mencederai kualitas demokrasi di Indonesia. Dalam pandangan Muhammadiyah-’Aisyiyah, praktik politik uang merupakan tindakan yang haram dilakukan karena bagian dari praktik risywah (suap). Dosa atas perbuatan tersebut bukan saja berlaku bagi pemberi, tetapi juga perantara maupun penerima risywah.
Selain itu, imbuh Tri, ‘Aisyiyah juga menemukan masih adanya pelanggaran di masa tenang, berupa kampanye yang dilakukan kandidat, intimidasi memilih calon tertentu, praktik politik uang, pembagian kartu spesimen dengan arahan memilih calon tertentu, penempelan stiker calon, dan alat peraga kampanye yang belum diturunkan. Padahal, masa tenang hendaknya digunakan bagi pemilih untuk mempertimbangkan secara matang calon yang akan dipilih sehingga sudah seharusnya tidak ada praktik kampanye apalagi praktik politik uang.
Saat pemungutan suara, ‘Aisyiyah juga menemukan beberapa pelanggaran yang dilakukan di TPS, seperti lokasi TPS berada di tempat netral, yaitu di tempat ibadah dan rumah pendukung salah satu partai; pemasangan atribut partai di sekitar TPS; intimidasi untuk memilih salah satu calon; dan problem transparansi penghitungan suara karena terdapat KPPS yang tidak memperbolehkan saksi dan masyarakat untuk melihat proses penghitungan suara dan mendokumentasikan C1.
Terkait inklusifitas pemilu, khususnya bagi kelompok rentan, seperti lansia, ibu hamil, dan penyandang disabilitas, Tri mengungkapkan terdapat kesenjangan antara kebijakan yang ada dengan pelaksanaannya di lapangan. Padahal pemilu inklusif telah diatur dalam UUD 1945, UU No. 7 Tahun 2017 yang mengatur tentang penyelenggaraan pemilu yang aksesibel dan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas, dan UU No 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas yang didalamnya menjamin tentang hak politik penyandang disabilitas.
Meskipun demikian, Tri Hastuti menyampaikan, ‘Aisyiyah juga mengapresiasi upaya KPU dan Bawaslu yang sudah mulai melakukan sosialisasi pemilu kepada kelompok rentan. Sebagian besar KPPS di lokasi pemantauan sudah menerapkan prinsip inklusivitas dalam penyelenggaraan Pemilu di TPS; meskipun masih ditemukan beberapa catatan penting agar pelaksanaan Pilkada nanti maupun pemilu yang akan datang lebih inklusif.
Tri menjelaskan, bahwa ‘Aisyiyah juga berfokus pada inklusifitas TPS bagi lansia dan ibu hami sebagai kelompok rentan. Ditemukan, dari 210 TPS, terdapat 174 TPS (83%) dengan pemilih ibu hamil dan di semua TPS (100%), terdapat lansia. Dalam arti kelompok rentan banyak terdapat di semua TPS sehingga sudah seharusnya TPS ramah bagi lansia dan ibu hamil. Namun demikian, baru di 131 TPS (62%) yang menyediakan kursi prioritas bagi ibu hamil-lansia, dan 79 TPS (38%) belum menyediakan kursi prioritas. Kebanyakan TPS atau 95% (199 TPS) juga belum menyediakan ruang bermain/mainan untuk memfasilitasi pemilih yang harus membawa anak/balita ke TPS.
Tidak semua lansia juga menggunakan hak pilihnya. Di 36% (75 TPS), pemilih lansia yang memiliki kesulitan mobilitas, tidak memberikan suaranya dikarenakan beberapa alasan, yaitu 1) tidak berkenan memilih, 2) tidak bisa memilih karena waktu bagi KPPS sangat terbatas untuk mendatangi tempat tinggal lansia tersebut agar bisa memberikan suara, 3) tidak ada keluarga yang mengantar ke TPS. Sedangkan di 64% TPS, lansia yang memiliki kesulitan mobilitas masih tetap bisa memberikan suaranya karena ada pendamping keluarga yang mengantar, ada pendamping dari KPPS, KPPS dan pihak terkait mendatangi tempat tinggal agar lansia bisa memilih.
Selanjutnya terkait dengan penyandang disabilitas, disebut Tri dimulai dari jumlah pemilih difabel yang masih timpang yaitu antara diffable yang terdaftar dalam DPT dengan jumlah pemilih difabel sebenarnya di lapangan. Hal ini tentu saja memangkas hak suara bagi teman-teman difabel yang belum terdaftar dalam DPT. Di 210 TPS, terdapat 589 pemilih disabilitas. Namun pemilih difabel yang terdaftar sebanyak 530 (90%), sedangkan 59 (10%) lainnya tidak terdaftar.
Selain karena problem validitas pendataan difabel, juga terdapat faktor lain, misalnya minimnya pemahaman KPPS tentang ragam difabel. Terdapat seorang difabel yang pernah mendapatkan perawatan gangguan jiwa di RS serta masih mengkonsumsi obat namun tidak diidentifikasi sebagai difabel. Demikian halnya, terdapat lansia yang sudah tidak bisa melihat namun tidak didata sebagai difabel netra.
Kemudian terkait sarana prasarana, hasil pemantauan yang dilakukan ‘Aisyiyah, meskipun kebanyakan lokasi TPS sudah aksesibel, namun pemantau ‘Aisyiyah menemukan bahwa belum semua lokasi TPS aksesibel dengan akomodasi yang layak bagi difabel. Hal tersebut ditunjukkan dengan masih adanya TPS yang berada di lokasi yang berumput tebal, licin, berpasir, berkerikil, berlumpur, dan ada got pemisah. Misalnya saja, masih ada 5% (11 lokasi TPS) yang berada di tempat berundak-undang yang tentu saja akan menyulitkan bagi difabel fisik maupun netra dalam menjangkau lokasi tersebut. Adapun terkait sarana dan prasarana juga belum semuanya aksesibel bagi penyandang disabilitas, “Belum semua sarana dan prasarana di TPS aksesibel, yaitu masih ada meja pencoblosan yang tidak bisa dimasuki kursi roda di 31 TPS (36%), meja kotak suara terlalu tinggi sehingga kesulitan memasukkan surat suara di 57 TPS (69%). , dan belum semua tersedia template braille,” terang Tri.
Hal yang penting lainnya adalah berkenaan dengan akomodasi yang layak bagi difabel di TPS. Pemantau ‘Aisyiyah menemukan, belum semua petugas KPPS peduli dan responsif terhadap hambatan yang dialami oleh pemilih difabel. “Kondisi ini tergambar dari situasi bahwa masih ada difabel tuli yang tidak menggunakan hak suaranya karena tidak tahu jika dipanggil petugas, minimnya pemberian informasi tentang tata cara pemungutan suara, minimnya ketersediaan Juru Bahasa Isyarat, kurangnya penggunaan komunikasi non verbal kepada difabel tuli, belum semua petugas menawarkan bantuan kepada difabel termasuk difabel mental dan intelektual dalam memberikan suaranya.” Kebanyakan difabel, ungkap Tri, juga membutuhkan pendamping dan seharusnya pendamping menandatangani surat pernyataan pendampingan (formulir C3), tetapi di 56% (44 TPS) pendamping difabel tidak menandatangani C3.
Dalam mewujudkan pemilu inklusif, menjadi penting untuk melibatkan kelompok rentan seperti perempuan dan difabel sebagai KPPS agar lebih responsif terhadap kebutuhannya. Namun demikian, jumlah difabel yang menjadi KPPS sangatlah sedikit. Dari keseluruhan jumlah KPPS, sebanyak 51% (767) merupakan perempuan, hanya 2 di antaranya yang difabel; dan 48,7% (727) merupakan laki-laki, hanya 4 di antaranya yang difabel. Perempuan juga masih sedikit yang menempati posisis strategis sebagai ketua, yaitu hanya di 16,67% (35 TPS).
Menindaklanjuti hasil dari pemantauan Pemilu 2024 yang telah dilakukan, maka ‘Aisyiyah memberikan beberapa poin rekomendasi sebagai berikut:
- Pentingnya dilaksanakan pendidikan pemilih secara berkelanjutan untuk mencegah politik uang; cara mengenali pelanggaran di masa tenang; dan bagaimana menjadi pemilih kritis.
- Penyelenggara Pemilu hendaknya bersikap independen.
- Menindak tegas peserta Pemilu yang melakukan politik uang sesuai dengan ketentuan.
- Pengarusutamaan inklusivitas dalam semua tahapan Pemilu
- Adanya SOP tentang pemilu aksesibel dan akomodasi layak bagi pemilih ibu hamil, lansia, dan disabilitas; juga penyediaan tempat bermain bagi anak.
- Peningkatan kapasitas bagi KPPS tentang ragam disabilitas, aksesibilitas, dan akomodasi yang layak bagi lansia, ibu hamil, dan disabilitas.
- Sosialisasi pemilu/pendidikan pemilih lebih massif kepada disabilitas, lansia, dan keluarganya.
- Memperbanyak KPPS dari disabilitas dan menempatkan perempuan KPPS dalam posisi strategis.
Tri berharap poin-poin rekomendasi yang disampaikan oleh ‘Aisyiyah tersebut dapat menjadi perhatian pemerintah dalam upaya perbaikan khususnya pelaksanaan Pilkada yang akan berlangsung dalam waktu dekat ini maupun bagi Pemilu-Pemilu di masa mendatang.