Fauzan Anwar Sandiah
Bendahara Umum PP Muhammadiyah, Hilman Latief Jum’at (1/9) pekan lalu mengatakan bahwa wakaf adalah pilar filantropi yang paling pokok untuk kemajuan masyarakat muslim. Ia menegaskan betapa penting posisi lahan wakaf untuk program-program pemberdayaan masyarakat yang berefek panjang secara sosial, budaya, dan ekonomi.
Pernyataan Hilman menegaskan ulang posisi penting lahan wakaf yang telah dibuktikan sepanjang sejarah. Sebagai contoh Al-Azhar yang menjadi representasi kesuksesan pengelolaan dan pendayagunaan wakaf paling produktif di dunia Islam, yang bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, namun juga independensi masyarakat muslim secara sosial dan politik.
Dalam konteks Indonesia, Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang telah mendayagunakan lahan wakaf untuk mendirikan puluhan ribu lembaga pendidikan, rumah sakit, dan pusat layanan sosial. Namun demikian, luas lahan wakaf yang berada di bawah Muhammadiyah yang seringkali diumpamakan dengan “seluas pulau Bali”, masih membutuhkan gebrakan-gebrakan baru.
Tajdid untuk Wakaf
Pernyataan Hilman tentang perlunya Muhammadiyah mengokohkan sikap tajdid dalam tata kelola dan pendayagunaan lahan wakaf adalah semacam sinyal tentang arah gerakan filantropi baru yang perlu diperkuat oleh Persyarikatan. Selama ini, lahan wakaf baru berfungsi untuk mendirikan masjid, sekolah, sawah, dan fasilitas umum seperti pusat kegiatan masyarakat atau area pemakaman.
Berbagai hasil penelitian tentang tata kelola dan pendayagunaan wakaf mendukung pernyataan Hilman. Lahan wakaf bukan sekadar persoalan luas atau jumlah, melainkan bentuk dan penggunaannya. Secara filosofis waqf dimaksudkan untuk mematikan atau mengerem faktor-faktor produksi kekayaan berupa aset dan properti menjadi sumber konsentrasi kapital privat, dan mengubahnya menjadi milik publik yang memberi manfaat komunal. Aspek kebermanfaatan sosial secara berkelanjutan dan berkesinambungan adalah kata kunci yang melandasi fungsi wakaf dalam ajaran Islam.
Sejak lama, karena tanpa terhalang oleh fiqh Syafi’iyyah, Muhammadiyah melihat bahwa wakaf memiliki aspek dan kekuatan ekonomi. Artinya, wakaf dapat dikelola untuk menghasilkan manfaat ekonomis bagi masyarakat luas. Ini juga yang menyebabkan Muhammadiyah lebih mudah menerima gagasan tentang wakaf produktif.
Posisi wakaf sebagai pilar filantropi juga diperkuat dengan kenyataan bahwa tata kelola zakat untuk menghasilkan manfaat jangka panjang seringkali menemui hambatan. Perdebatan fiqhiyah seringkali menempatkan zakat sebagai bentuk derma yang harus habis tersalurkan ke mustahiq. Hal ini berbeda dengan wakaf yang justru tidak boleh habis terbagi, dan harus terus memberi manfaat, baik jangka pendek, menengah, dan panjang.
Isu Ketahanan Pangan
Wakaf berupa tanah atau lahan memiliki nilai yang sangat tinggi terutama di kawasan urban. Di tengah laju peningkatan populasi penduduk Indonesia sebesar 1,3%, ketersediaan lahan untuk memenuhi kebutuhan mendasar secara komunal menjadi perhatian serius.
Dampak peningkatan populasi sangat terkait dengan kapasitas warga dalam mengakses kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Di antara tiga kebutuhan itu, pangan menempati posisi paling krusial karena terkait dengan dampak multidimensional lainnya yang akan menyertai individu dan masyarakat.
Sebagaimana dikutip dari Tempo (8/20), menurut Badan Pangan Nasional, per Agustus 2023, cuma ada 1,5 juta ton stok beras yang tersedia, mencakup beras di Bulog, mitra, maupun pasar komersial. Angka ini jelas nyaris separuh dari kebutuhan beras nasional yakni 2,5 juta ton.
Muhammadiyah memiliki banyak program terkait dengan ketahanan pangan. Satu di antaranya adalah program GETAPAK (Gerakan Ketahanan Pangan Keluarga) yang dilakukan selama masa pandemi melalui penyaluran dana stimulus UMKM dan pengembangan urban farming.
Bachtiar Dwi Kurniawan, Program Manager GETAPAK MCCC, mengatakan bahwa program ini menyasar keluarga yang terdampak PHK akibat pandemi dan keluarga yang belum menerima bantuan sosial serta hak-hak perlindungan sosial dasar. Program ini memang sudah kelar dua tahun silam, namun manfaatnya masih terasa.
Selain GETAPAK, jauh sebelum itu pula Muhammadiyah mendirikan Jamaah Tani Muhammadiyah (Jatam) yang setidaknya memiliki dua titik pemberdayaan teladan, yakni di Klaten dan Sragen. Melalui pemberdayaan petani beras organik, Jatam telah menjadi percontohan gerakan ketahanan pangan di Muhammadiyah.
Optimalisasi gerakan ketahanan pangan ala Muhammadiyah sangat potensial. Apalagi jika dikombinasikan dengan pendayagunaan lahan wakaf, sehingga manfaatnya akan berkelanjutan dan menciptakan komunitas berdaya. Lahan wakaf yang dimanfaatkan untuk ketahanan pangan akan berdampak besar pada ketersediaan pangan alternatif, dan juga dapat memberi manfaat ekonomis.
Wakaf untuk Ketahanan Pangan
Lahan wakaf yang memberikan manfaat pada ketahanan pangan masyarakat sebetulnya bukan ide baru dalam Islam. Bahkan hadits yang tercantum dalam Shahih Muslim nomor 4006 tentang kisah Umar memperoleh lahan di Khaibar secara eksplisit telah membicarakan masalah ini.
“Umar memperoleh lahan di Khaibar. Dia datang kepada Rasulullah Saw dan meminta nasehatnya mengenai hal itu. Dia berkata: Rasulullah, saya telah mendapat tanah di Khaibar. Saya belum pernah mendapatkan harta lebih berharga daripada ini, jadi apa yang engkau ingin saya lakukan terkait dengan ini? Kemudian dia (Rasulullah) berkata: Jika Jika engkau mau, engkau tahan (pokok) tahan itu, dan bersedekahlah dari hasilnya. Umar pun menyedekahkan hasil tanah itu dengan ketentuan ia tidak menjual (pokok) tanah itu, tidak diwariskan, dan tidak dihibahkan. Ia menyedekahkan hasil (manfaat) dari tanah itu kepada kaum fakir, kerabat dekat, untuk memerdekakan budak, memberikannya di jalan Allah (sabilillah), untuk ibnu sabil, dan tamu. Tidak berdosa bagi orang yang mengurusnya untuk memakan sebagian dari hasil tanah itu dengan cara yang wajar, atau jika ia memberi makan teman-temannya dan tidak menimbun itu untuk miliknya sendiri.”
Hadits di atas dengan sangat jelas memperlihatkan bahwa wakaf dapat menjadi instrumen perwujudan keadilan sosial. Keberlanjutan dan dampak multidimensional merupakan prinsip krusial dalam tata kelola wakaf. Prinsip tersebut telah diajarkan langsung oleh Rasulullah sebagaimana dapat dicermati dalam hadits di atas.
Masih terkait dengan ketahanan pangan, selain GETAPAK atau Jatam, ada pula contoh lain tentang keberhasilan program ketahanan pangan di Muhammadiyah, namun dengan dimensi pendayagunaan lahan wakaf. Misalnya, program TaniMu yang digerakkan oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Lhokseumawe. Program ini berhasil memanfaatkan lahan wakaf milik Persyarikatan yang terletak di Dusun Suka Makmur, Desa Jamuan, Kecamatan Bandar Baro Aceh Utara. Melalui pendayagunaan lahan wakaf ini, total ada 2 ton cabe yang berhasil dipanen.
Lahan wakaf perlu dicermati sebagai instrumen penting ketahanan pangan berbasis masyarakat sipil muslim. Jika dikelola dengan tetap menjaga independensi masyarakat, sembari negara membantu akses pengembangan dan pendampingan, bukan tidak mungkin inilah jawaban alternatif yang layak dicoba daripada sekadar mengandalkan konsep food estate yang terbukti high cost and risk.
Wakaf dan Krisis Ekologi
Beberapa contoh yang telah disebutkan sebelumnya memperlihatkan bahwa pendayagunaan lahan wakaf sangat terbuka untuk menjawab problem-problem kontemporer. Selain pangan, krisis ekologi juga adalah masalah yang perlu dipecahkan saat ini pula.
Lahan wakaf dapat memainkan peran penting untuk memajukan gerakan lingkungan di Indonesia. Sejumlah eksperimen yang pernah dicoba terbukti cukup berhasil. Misalnya ada wakaf hutan yang ternyata menjadi sangat populer yang kemudian mendapat dukungan dari Badan Wakaf Indonesia dan Kemenag RI.
Ada tiga titik hutan wakaf yang cukup populer, yakni di Jantho, Aceh yang diinisiasi pada tahun 2012; kemudian di Leuweung Sabilulungan yang didukung Pemkab Bandung; dan di Desa Cibunian, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Setiap titik hutan wakaf ini memiliki kisah dan konteks inisiasi yang berbeda-beda.
Selain dalam bentuk hutan konservasi, lahan wakaf juga dapat dimanfaatkan untuk area resapan air yang terintegrasi dengan masjid sebagai fasilitas umum. Contoh ini dilakukan oleh aktivis Muhammadiyah di Tangen, Sragen, yang memanfaatkan tanah wakaf untuk masjid sekaligus menjadi sumur resapan. Berawal dari satu titik pendayagunaan, menjadi tujuh titik sumur air resapan karena warga sekitar kemudian mewakafkan sepetak lahan di pekarangan rumah mereka untuk instalasi sumur resapan.
Contoh kasus di Tangen, Sragen, ini berupaya menjawab kelangkaan air yang kerap terjadi saban tahun. Dan seiring dengan dampak-dampak perubahan iklim, kekeringan dan banjir ekstrem akan menjadi ancaman nyata.
Ada banyak kasus pemanfaatan dan pendayagunaan lahan wakaf yang sangat layak dicoba oleh aktivis Muhammadiyah. Lahan wakaf adalah solusi paling Islami yang dapat digerakkan oleh setiap muslim untuk setidaknya menawarkan jawaban-jawaban alternatif yang kerap jadi celah dalam ideologi pembangunan yang sekarang tengah diterapkan.