Oleh : Revvina Agustianti Subroto (Ketua Pimpinan Daerah Nasyiatul Aisyiyah Kabupaten Brebes)
Tidak lama lagi, pada tanggal 27 November 2024 bangsa Indonesia akan menggelar hajat besar demokrasi secara serentak, yakni Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), baik untuk tingkat kota / kabupaten maupun tingkat provinsi. Dalam konteks dinamika politik lokal seperti Pilkada, persyarikatan Muhammadiyah beserta organisasi otonom (ortom)-nya memiliki peran dan tanggung jawab besar dalam menjaga marwah (kehormatan dan integritas) di akar rumput. Ketika berbagai kepentingan politik berupaya menarik dukungan, persyarikatan harus tampil sebagai penjaga moral dan nilai-nilai etika, terutama di tengah potensi polarisasi dan fragmentasi sosial yang terjadi saat ini.
Salah satu tantangan terbesar bagi persyarikatan adalah menjaga netralitas politik terutama menjelang hajat besar Pilkada. Dalam beberapa situasi, tidak sedikit anggota persyarikatan yang mungkin berasal dari berbagai latar belakang partai politik, yang sering kali menyebabkan organisasi berkemajuan ini rawan ditarik ke dalam arus politik praktis. Netralitas ini menjadi sangat penting di tubuh persyarikatan, hal ini dikarenakan Muhammadiyah bukanlah entitas politik, melainkan organisasi sosial-keagamaan yang bertujuan untuk membangun dan menjaga moralitas keumatan. Sebagaimana visi Muhammadiyah : “Sebagai gerakan Islam yang berpedoman pada Al-Qur’an dan As-Sunah. Dengan watak tajdid yang dimilikinya, senantiasa istiqomah dan aktif dalam melaksanakan dakwah Islam amal ma’ruf nahi mungkar di segala bidang sehingga menjadi Rahmatan Lil-alamin bagi ummat, bangsa dan dunia kemanusiaan menuju terciptanya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang diridhoi Allah SWT dalam kehidupan di dunia ini.”
Netralitas politik bukan berarti apatis, acuh atau tidak peduli terhadap proses politik yang berlangsung. Namun sebaliknya, persyarikatan harus mampu menjadi penengah yang bijak, mendorong partisipasi politik yang sehat, tanpa memihak kepada salah satu kandidat atau partai politik. Dengan tetap menjaga jarak dari kepentingan politik praktis, persyarikatan dapat berperan sebagai “penjaga moral dan etika” yang membimbing masyarakat untuk memilih berdasarkan nilai, integritas, kredibilitas, dan visi keuamatan yang berkemajuan, bukan berdasarkan janji-janji politik yang seringkali bersifat pragmatis dan temporer.
Pimpinan dalam persyarikatan memiliki peran sentral dan strategis dalam menjaga marwah organisasi. Di saat kampanye politik yang seringkali diwarnai oleh isu-isu yang memecah belah, pimpinan persyarikatan harus tampil dan mampu memberi arahan yang jelas dan tegas kepada anggotanya. Mereka harus mengingatkan bahwa persyarikatan dibangun atas dasar nilai-nilai luhur yang tidak boleh dikorbankan hanya demi keuntungan politik sesaat.
Selain itu, sebagai penjaga moralitas publik-pimpinan persyarikatan juga harus memastikan bahwa pesan-pesan yang disampaikan kepada masyarakat bersifat edukatif dan mendorong kesadaran kritis. Masyarakat harus didorong untuk tidak terjebak dalam politik transaksional maupun politik uang, dimana suara bisa dibeli dengan uang, kedudukan, ataupun janji-janji yang tak tertagih. Sebaliknya, persyarikatan harus menjadi wadah yang memperjuangkan nilai-nilai keadilan, transparansi, kebenaran, dan visi keumatan dalam mewujudkan Pilkada yang penuh integritas untuk kebaikan bersama.
Salah satu cara agar persyarikatan tetap dapat menjaga marwah organisasi adalah melalui pendidikan politik di akar rumput. Pendidikan ini bukan berarti mengarahkan masyarakat untuk memilih calon tertentu, melainkan memberikan pemahaman mendalam tentang hak dan kewajiban sebagai pemilih. Pemilih yang sadar adalah mereka yang paham akan konsekuensi jangka panjang dari setiap suara yang diberikan.
Pendidikan politik ini juga harus mengajarkan pentingnya memilih pemimpin yang memiliki integritas dan visi yang jelas untuk kemajuan masyarakat. Persyarikatan, dalam hal ini, dapat menjadi platform yang mengedukasi masyarakat dalam menilai calon pemimpin berdasarkan rekam jejak, visi, program yang realistis, serta keberpihakan pada kepentingan publik, bukan sekadar popularitas, kekayaan, atau tekanan politik.
Polarisasi adalah ancaman nyata yang sering terjadi menjelang Pilkada. Perpecahan di tengah masyarakat bisa terjadi akibat perbedaan pilihan politik, yang akhirnya merusak kohesi sosial. Persyarikatan, yang berada di akar rumput, memiliki posisi strategis untuk meredakan ketegangan. Dengan terus menyebarkan pesan persatuan dan menekankan pentingnya menjaga kerukunan, persyarikatan dapat mencegah potensi konflik yang lebih besar.
Dalam konteks Pilkada, Persyarikatan harus tampil sebagai penengah yang bijak dengan mengedepankan dialog yang inklusif, di mana semua pihak yang terlibat dalam Pilkada—baik kandidat, pendukung, maupun masyarakat umum—diajak untuk mengedepankan etika dan nilai-nilai kebersamaan. Dengan demikian, persyarikatan tidak hanya menjaga marwahnya sendiri, akan tetapi juga berkontribusi terhadap terciptanya Pilkada yang damai dan bermartabat.
Menjelang Pilkada, pimpinan persyarikatan memegang tanggung jawab besar untuk menjaga marwah dan integritas di akar rumput. Melalui pendidikan politik, peran pimpinan yang bijaksana, serta usaha untuk merawat persatuan di tengah polarisasi, persyarikatan dapat tetap menjadi penjaga dan penuntun moral masyarakat. Dalam proses ini, netralitas politik harus tetap dijaga, agar persyarikatan tidak terseret ke dalam kepentingan politik praktis, melainkan terus berfokus pada misi utamanya: membangun masyarakat yang adil, berintegritas, dan bermartabat. Dengan spirit menjaga marwah persyarikatan, Pilkada dapat menjadi momentum untuk memperkuat persatuan dan membangun kesadaran politik yang sehat di tengah masyarakat.