Ibadah puasa pada bulan Ramadan merupakan salah satu kewajiban dalam Islam yang harus dipatuhi. Puasa ini memiliki tujuan sebagai pembentukan karakter yang taqwa dan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Swt. Hal ini sebagaimana firman-Nya dalam Surat Al Baqarah ayat 183
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ – ١٨٣
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita menghadapi persoalan terkait dengan puasa Ramadan yang menjadi bagian penting dalam praktik keagamaan umat Islam. Salah satu permasalahan yang sering dihadapi adalah tentang pembayaran puasa yang masih menjadi utang bagi orang tua yang sakit atau telah meninggal dunia. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang bagaimana cara melaksanakan kewajiban ini dengan tepat sesuai ajaran agama Islam.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita dapat merujuk pada buku Tanya Jawab Agama yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah, serta Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah (HPT). Di dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 1 halaman 107, Tanya Jawab Agama Jilid 5 halaman 79, dan Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah halaman 181, terdapat penjelasan mengenai hal ini.
Firman Allah dalam al-Quran:
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ … [البقرة (2): 184]…
Artinya: “….maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin … [QS al-Baqarah (2): 184].
Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa, jika seseorang dalam keadaan sakit atau sedang berada dalam suatu perjalanan sehingga merasa berat untuk melakukan puasa, maka boleh baginya mengganti kewajiban puasanya di hari yang lain. Kemudian sekiranya di hari yang lain pun ia tidak mampu menggantinya, disebabkan karena uzur syari, maka ia bisa mengganti puasa yang ditinggalkan dengan cara membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.
Menurut fatwa Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, ada dua konsep terkait mengganti puasa yang tidak dilaksanakan pada waktu yang seharusnya. Pertama, qadha, yang berlaku untuk individu yang masih memiliki kesehatan yang memadai di masa depan, seperti orang yang sedang dalam perjalanan atau wanita yang sedang mengalami menstruasi, dan sebagainya. Sedangkan yang kedua adalah fidyah, yang merupakan pemberian makanan atau uang tunai kepada orang-orang miskin sejumlah hari puasa yang ditinggalkan.
Fidyah ini dapat diberikan dalam berbagai bentuk, seperti makanan siap saji, bahan makanan sejumlah satu mud, atau uang tunai senilai satu kali makan. Dasar pemahaman ini diambil dari QS. Al Baqarah: 184 yang menyebutkan kata tha’am (makanan), yang dalam hadis-hadis juga memiliki arti luas, mencakup makanan siap santap dan bahan makanan. Oleh karena itu, pelaksanaan fidyah bisa berupa makanan seperti nasi kotak atau bahan makanan seperti gandum, beras, dan sejenisnya.
Terkait dengan pemberian fidyah dalam bentuk uang tunai, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Lembaga fatwa dari Arab Saudi menolak fidyah dengan uang tunai, sementara lembaga fatwa al-Azhar dan Komisi Fatwa Kuwait mengizinkannya sebagai pengganti makanan dan bahan makanan.
Fatwa Tarjih, dengan mempertimbangkan sifat likuid uang yang lebih mudah dimanfaatkan oleh orang miskin, memperbolehkan pembayaran fidyah dengan uang tunai. Terkait teknis pembayaran, tidak ada ketentuan khusus dalam teks al-Quran dan Hadis. Oleh karena itu, Fatwa Tarjih memutuskan bahwa pembayaran fidyah dapat dilakukan sekaligus atau secara bertahap dengan membayar setiap kali tidak berpuasa pada bulan Ramadan.
Sasaran pemberian fidyah ditujukan kepada orang-orang miskin, baik secara konsisten kepada satu orang miskin maupun berbeda-beda sasaran, yang pada intinya harus menjangkau orang-orang miskin. Terkait dengan waktu pembayaran, Fatwa Tarjih menegaskan bahwa pembayaran fidyah hanya boleh dilakukan setelah pasti bahwa seseorang telah meninggalkan puasa. Pembayaran fidyah sebelum waktu yang tepat dianggap tidak sah dalam pandangan agama Islam.
Pelaksanaan fidyah ini sesuai dengan prinsip dasar Islam yang mengedepankan rahmat, mempermudah, dan tidak mempersulit orang beriman. Itu sesuai dengan QS. Al Anbiya: 107 yang menekankan rahmat Allah kepada manusia, QS. Al Hajj: 78 yang menyatakan tidak adanya kesulitan dalam agama, dan QS. Al Baqarah: 185 yang mengarahkan pelaksanaan ibadah dengan cara yang mudah.
Perempuan Hamil dan Menyusui: Fidyah atau Qadha?
Dalam konteks Mazhab Syafi’i yang tercantum dalam kitab Ghayah at-Taqrib karya Ahmad bin al-Husain Al-Syafi’i, perempuan hamil dan perempuan yang menyusui diperbolehkan untuk berbuka jika merasa khawatir terhadap diri mereka sendiri, dan diwajibkan untuk mengqadha puasa tersebut.
Namun, jika kekhawatiran tersebut juga terkait dengan kesehatan dan tumbuh kembang anak, selain mengqadha, orang yang memberi nafkah kepada anak tersebut juga diwajibkan memberi makan kepada orang miskin.
Dalam pandangan Fatwa Tarjih, perempuan hamil dan menyusui yang tidak berpuasa di bulan Ramadan diwajibkan membayar fidyah sebagai gantinya.
Hal ini dilakukan agar tidak memberatkan perempuan hamil dan menyusui dalam menjalankan ibadah puasa, sebagaimana yang diisyaratkan dalam QS. Al Hajj: 78, yang menyatakan bahwa agama Islam tidaklah memberatkan umatnya, dan QS. Al Baqarah: 185 yang menekankan kemudahan dalam menjalankan ibadah
Fidyah yang dikeluarkan dapat berupa makanan siap saji atau bahan pangan sebesar satu mud (sekitar 0,6 kg makanan pokok). Penjelasan ini didasarkan pada makna umum kata “tha’am” (makanan) dalam QS. Al Baqarah ayat 184.
Dalam beberapa hadis, kata “tha’am” ini memiliki makna ganda, yaitu makanan siap santap dan bahan pangan. Oleh karena itu, pelaksanaan fidyah dapat berupa nasi kotak, gandum, beras, dan lain sebagainya. Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama mengenai penggunaan uang tunai sebagai fidyah.
Lembaga fatwa Arab Saudi tidak mengizinkan penggunaan uang tunai sebagai fidyah, sedangkan lembaga fatwa al-Azhar dan Komisi Fatwa Kuwait memperbolehkannya sebagai pengganti makanan siap saji dan bahan pangan.
Fatwa Tarjih mempertimbangkan sifat likuid dari uang yang memungkinkan lebih mudah dimanfaatkan oleh orang miskin. Oleh karena itu, fatwa tersebut membolehkan pembayaran fidyah dengan uang tunai.
Cara Pembayaran Fidyah Bagi Ibu Hamil atau Menyusui
Pembayaran fidyah bagi ibu yang sedang hamil atau menyusui karena tidak berpuasa di bulan Ramadan, seharusnya disesuaikan dengan kemampuan ibu tersebut. Proses pembayaran bisa dilakukan secara sekaligus, dalam beberapa angsuran, atau bahkan setelah lewatnya bulan Ramadan berikutnya, karena Allah SWT tidak menghendaki kesulitan bagi hamba-Nya (QS. Al Baqarah: 185).
Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, seorang wanita bertanya kepada Rasulullah Saw., bahwa ibunya telah meninggal dunia namun masih memiliki hutang puasa nazar. Dia bertanya apakah dia harus berpuasa untuk menggantikannya. Rasulullah Saw. menjawab dengan pertanyaan balik, “Bagaimana jika ibumu berhutang dan kamu membayar hutang tersebut, apakah pembayaran itu akan melunasi hutangnya?” Wanita itu menjawab bahwa pembayaran tersebut bisa melunasi hutang. Rasulullah Saw. kemudian menyatakan, “Berpuasalah untuk ibumu.”
Pentingnya membayar hutang puasa dengan cara yang baik, seperti segera melunasinya, selain membayar fidyah juga dengan melakukan puasa untuk mengganti hari-hari yang tidak berpuasa di bulan Ramadan. Ini termasuk dalam kategori kebajikan yang akan mendapatkan pahala besar dari Allah Swt. (QS. Al Baqarah: 184).