MALANG – Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Agung Danarto menemukan masih ada warga Muhammadiyah yang salah kaprah dalam memandang budaya.
Kesalahan dalam melihat budaya itu menjadikan mereka menjauh, atau bahkan anti budaya. Sebab menganggap jika agama dan budaya saling berdekatan akan melahirkan tahayul, bid’ah, dan khurafat.
Perspektif atau sudut pandangan itu lahir karena bersentuhan dengan arus besar Islam puritan yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab, atau yang lebih sering disebut oleh banyak orang sebagai Wahabisme.
“Islam puritan menekankan pada penghapusan segala hal yang berhubungan dengan tradisi dan budaya, dan kembali meniru apa yang ada pada masa Nabi dan sahabat. Dalam pandangan mereka, tradisi yang tidak ada pada zaman Nabi dianggap sebagai bid’ah,” jelasnya.
Namun di sisi yang berbeda, Agung mengungkapkan ada juga pandangan Islam modernis yang dipelopori oleh Muhammad Abduh. Kelompok ini memiliki cara sendiri dalam melihat nash, tidak hanya tekstual.
Verifikasi terhadap nash yang dilakukan oleh kelompok Islam modernis ini mengusahakan rujukan-rujukan otoritatif seperti hadis dan Qur’an relevan dalam kehidupan sehari-hari, dengan tidak menjadi serba kontradiksi.
Pakar hadis ini juga menjelaskan, bid’ah atau inovasi tidak seharusnya digunakan untuk menolak segala bentuk perkembangan dalam masyarakat, termasuk pengetahuan, filsafat, dan ilmu politik.
Bid’ah harus dipahami dalam konteks nilai-nilai dasar, moral, dan karakter yang terkandung dalam ajaran Islam, bukan pada bentuk atau praktiknya saja.
“Merujuk pada surat Al-Hujurat ayat 13, eksistensi berbagai budaya, suku, dan bangsa, dan menekankan bahwa budaya yang sesuai dengan nilai-nilai Islam harus diterima dan dihargai. Budaya bukanlah sesuatu yang harus dihilangkan, melainkan harus dipahami dan diselaraskan dengan ajaran Islam,” jelasnya.