DEMAKMU.COM | PUSAT – Kemajuan bagi Indonesia tidak bisa hanya di copy paste dari kemajuan Bangsa Barat maupun Bangsa Timur, atau bangsa-bangsa yang lain. Sebab, kemajuan itu tidak bisa dilepaskan dari identitas pribadi dari komunitas itu sendiri.
Dalam konteks yang lebih sempit, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir menyebut bahwa identitas Rumah Sakit PKU Muhammadiyah itu memiliki basis identitas keagamaan.
Lebih dalam lagi, Haedar menyebut identitas yang membedakan antara RS PKU Muhammadiyah dengan yang lain adalah Identitas Al Ma’un.
“Al Ma’un itu pembeda dari seluruh rumah sakit dan pelayanan kesehatan Muhammadiyah dibanding yang lain,” tutur Haedar pada (17/12) di acara Pelantikan Direksi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan RS PKU Muhammadiyah Gamping, Sleman.
Mengutip hasil disertasi Ketua Umum PP ‘Aisyiyah, Siti Noordjannah Djohantini, Haedar menyebut ciri distingtif RS PKU Muhammadiyah dengan rumah-rumah sakit lain ada empat. Pertama adalah pro kelompok dhuafa’, rumah-rumah sakit Muhammadiyah di manapun harus punya komitmen kepada mereka yang membutuhkan atau yang lemah secara ekonomi.
Namun demikian, meski rumah sakit maupun pelayanan kesehatan lain milik Muhammadiyah pro kelompok dhuafa’ bukan berarti pelayanan yang diberikan identik dengan kumuh, marjinal, dan memiliki tampilan dhuafa’. Termasuk seluruh civitas hospitality tidak boleh memiliki kultur marjinal, jorok, dan dhuafa’.
Kedua, memiliki orientasi kepada kemajuan atau memiliki nilai kemajuan. Berkaca dari sejarah semangat Al Ma’un yang dilakukan oleh tokoh pendahulu Muhammadiyah, bahwa adanya segala amal usaha yang pro kelompok dhuafa’ itu bukan untuk melanggengkan kemiskinan atau ketertindasan, tetapi untuk membawa kemajuan dan keberdayaan.
“Dibangunnya klinik yang sifatnya untuk memberi, semangat dan nilai kemajuan itu harus melekat dengan kita. Harus menjadi culture semuanya,” tuturnya.
Meski pro kelompok dhuafa’, Haedar menegaskan bahwa rumah-rumah sakit dan klinik kesehatan Muhammadiyah tidak boleh alergi dengan kelompok kaya. Namun rumah sakit Muhammadiyah juga harus mampu familiar di kalangan mereka. Menurutnya, mensintesiskan antara pro dhuafa’ dengan kalangan kaya itu tantangan tersendiri.
“Karena Muhammadiyah itu tidak mempertentangkan antara orang kaya dengan orang miskin, orang berkuasa dengan rakyat, dan semua oposisi biner satu sama lain,” ungkap Haedar.
Ciri distingtif ketiga adalah etos welas asih atau cinta kasih. Bahkan menebar nilai cinta kasih harus dimiliki oleh seluruh AUM dan diimplementasikan oleh seluruh civitasnya. Selain itu, penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh Muhammadiyah adalah untuk semua, tanpa terkecuali. Ciri distingtif keempat ini disebut juga sebagai nilai inklusif.