Pernikahan merupakan hak yang diakui bagi setiap individu, termasuk anak. Namun, hak ini perlu dipahami secara bijak dan mempertimbangkan berbagai aspek penting yang berhubungan dengan usia. Salah satu isu yang sering muncul di tengah masyarakat adalah usia pernikahan anak.
Isu ini kembali hangat setelah beberapa figur publik menikah pada usia yang relatif muda, seperti seorang influencer yang menikah pada usia 19 tahun untuk pria dan 17 tahun untuk perempuan. Fenomena ini memicu perdebatan tentang usia ideal pernikahan, terutama terkait kematangan fisik, mental, dan tanggung jawab yang akan diemban dalam kehidupan rumah tangga.
Pernikahan di usia anak membawa tantangan tersendiri. Meski anak memiliki hak untuk menikah, hak tersebut tidak berlaku jika anak belum mencapai usia yang dianggap matang untuk menikah. Dalam hal ini, orang tua memiliki peran penting untuk tidak menikahkan anaknya sebelum usia yang tepat, meskipun itu atas keinginan sang anak sendiri. Bahkan lebih krusial lagi, orang tua dilarang memaksa anaknya menikah, karena paksaan tersebut dapat merugikan masa depan anak dan melanggar prinsip perlindungan anak.
Usia pernikahan merupakan aspek vital yang perlu diperhatikan demi menjaga kesejahteraan anak. Menikah pada usia yang terlalu muda dapat berdampak pada banyak aspek kehidupan, baik bagi pasangan itu sendiri maupun bagi tanggung jawab yang mereka emban sebagai orang tua di masa mendatang. Dalam pernikahan, kematangan biologis, psikologis, sosial, dan ekonomi harus menjadi pertimbangan utama.
Al-Qur’an pun menyinggung pentingnya kematangan dalam pernikahan. Dalam Surah An-Nisā’ ayat 6, Allah berfirman, “Ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya …”.
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa selain kematangan fisik, kemampuan seseorang dalam memahami tanggung jawab juga harus diperhatikan sebelum menikah. Pernikahan bukan sekadar persoalan fisik, tetapi juga melibatkan aspek mental dan tanggung jawab sosial.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan aturan usia minimum pernikahan. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa usia minimum bagi laki-laki adalah 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Namun, perubahan regulasi dan kesadaran masyarakat telah mendorong peningkatan batas usia pernikahan untuk melindungi anak.
Dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dijelaskan bahwa seseorang dianggap anak jika belum mencapai usia 18 tahun. Oleh karena itu, idealnya pernikahan dilakukan setelah usia 21 tahun, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa panduan hukum.
Pertimbangan ini sejalan dengan prinsip maqāshid asy-syarī‘ah, khususnya dalam menjaga keturunan (ḥifz an-nasl), yang menekankan pentingnya kesiapan fisik, mental, sosial, dan ekonomi sebelum menikah. Pernikahan bukan hanya ikatan emosional, tetapi juga tanggung jawab yang melibatkan berbagai aspek kehidupan.
Oleh karena itu, menikah pada usia yang matang, baik secara fisik maupun mental, akan meminimalisir risiko permasalahan dalam rumah tangga dan memberikan fondasi yang lebih kuat untuk membangun keluarga yang harmonis.
Dengan demikian, usia pernikahan anak yang ideal seharusnya dipertimbangkan dengan matang. Menikah sebelum usia 18 tahun berisiko menempatkan anak dalam situasi yang belum siap mereka tanggung. Sebagai langkah preventif, baik orang tua maupun masyarakat perlu lebih berhati-hati dalam memberikan izin pernikahan anak.
Sumber: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Fikih Perlindungan Anak”, dalam Berita Resmi Muhammadiyah Nomor 03/2022–2027/Syakban 1445 H/Februari 2024 M, (Yogyakarta: Gramasurya, 2024).