Lemahnya penguasaan ekonomi menjadikan umat Islam tertinggal dalam persaingan hidup di dunia. Penyebabnya, antara lain karena umat Islam masih reaksioner, mudah tertarik untuk mengikuti gegap gempita persaingan identitas dibandingkan dengan membangun membangun pusat-pusat keunggulan maupun kerja keumatan yang lebih konkrit dan berorientasi jangka panjang.
“Dengan kerendahan hati bahwa umat silam kita ini lebih fokus pada politik identitas, perlawanan, dan lain-lain. Tapi kalau menyangkut ekonomi itu agak sepi. Maka kalau umat kita ini diajak ke Monas pakai ikat kepala itu luar biasa (sambutannya) tapi kalau pada gerakan-gerakan ekonomi yang bersifat masif itu tidak banyak,” kritik Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir.
Dalam Seminar Pra Muktamar di UM Bandung, Kamis (12/5), Haedar menantang Muhammadiyah bisa memimpin perubahan paradigma umat kepada hal-hal yang lebih konstruktif dan bermanfaat.
“Bisa tidak tokoh umat menggeser atau paling tidak membangun keseimbangan? Sebab kita tidak mungkin bisa maju kalau kita masih disibukkan oleh politik masal atau politik komunalitas. Kalimat ini mungkin menyengat kita tapi tidak apa-apa sebagai muhasabah bagi kita,” tutur Haedar.
“Kalau kita cinta umat maka kita harus berani ada hal-hal pahit sebagai koreksi bersama. Menjadi tokoh tidak harus memanjakan umat terus menerus. Di sinilah kita harus membangun keseimbangan karena mengerjakan pekerjaan-pekerjaan ekonomi, pendidikan, penguasaan iptek itu pekerjaan-pekerjaan yang tidak semua orang, warga dan umat itu bisa,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Haedar meminta agar Muhammadiyah melalui Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK) bergerak lebih masif dengan melakukan objektivasi pada pekerjaan-pekerjaan praktis.
Misalnya mencatat dan melaporkan secara berkala berapakah penambahan saudagar dan wirausahawan Muhammadiyah di setiap wilayah di Indonesia yang tergabung dalam JSM (Jaringan Saudagar Muhammadiyah).
“Inilah yang perlu menjadi perhatian kita sehingga konsen kita, komitmen kita itu adalah halalan tayiban, hal yang bersifat value tapi pada saat yang sama ekonomi kita, wirausaha kita, bisnis kita sekaligus juga di dalamnya usaha-usaha pariwisata yang mau dirintis oleh Muhammadiyah karena Muhammadiyah belum masuk ke situ, kita punya 60 hektare lebih di Labuan Bajo tapi belum bisa kita manfaatkan untuk kepentingan pariwisata yang normal saja. Ini satu contoh saja betapa tidak mudahnya mengembangkan bisnis dan kewirausahan yang bersifat nyata, konkrit, praksis dan strategis,” pungkasnya.